Jumat, 07 Februari 2014

MENJADI INDONESIA



MENJADI INDONESIA
Oleh : Husein Muhammad

( dimuat di Koran Sindo, 08 Pebruari 2014, kolom Opini)

15 tahun Reformasi Indonesia telah berlangsung. Ia adalah sebuah kosakata yang indah. Ia menyimpan impian-impian bangsa Indonesia untuk menjadi manusia dan menjadi Indonesia. Zaman itu lahir menyusul teriakan-teriakan membahana warga bangsa di seluruh bagian bumi negeri itu. Mereka menuntut berakhirnya kekuasaan politik sentralistik dan tunggal yang represif, selama bertahun-tahun. Sentralisasi dan ketunggalan kekuasaan pada hampir seluruh pengambilan kebijakan public selama itu telah mematikan kehidupan demokrasi dan menghilangkan hak-hak ekspresi dan aktualisasi diri manusia Indonesia. Meski tak tampak ingar binger, sistem ini juga mendiskriminasi kebhinekaan keyakinan dan agama warga Negara. UU No. 1/PNPS/1965 yang dikeluarkan pemerintah orde lama dikukuhkan melalui UU No. 5/PNPS/1969 dan Surat Keputusan Bersama No. 01/BER/mdn-mag/1969.
Reformasi lalu melahirkan otonomisasi daerah. Paradigma ini diidealkan sebagai cara atau jalan baru bagi upaya mewudjudkan Indonesia secara lebih demokratis dan lebih luas, menyeluruh dan substansial. Demokrasi luas dan substansial meniscayakan keterlibatan semua warga negara dalam pengambilan keputusan social-politik, pengakuan, penghargaan, perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia, persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang kehidupan, kebebasan dan pengakuan terhadap perbedaan/keragaman identitas; suku, agama, golongan, dan sebagainya. Demokrasi seperti itulah impian seluruh warga Negara bangsa ini, dulu, kini dan untuk selamanya.

Tetapi dalam realitas Indonesia hari ini, janji otonomisasi dengan seluruh konsekuensinya itu telah mengaburkan mimpi-mimpi tersebut. Demokrasi kini seakan menjadi ajang perebutan kekuasaan politik secara tak terkendali, demi kepentingan diri, golongan, komunitas dan agamanya. Setiap orang/kelompok social dan atau keyakinan agama dibiarkan bicara apa saja, mengatasnamakan apa saja dan dengan cara apa saja untuk memenangkan pertarungan itu. Atas nama demokrasi, terma mayoritas-minoritas sepertinya menjadi kata pamungkas. UU No. 1/PNPS/1965, digunakan sebagai alat legitimasi atasnya, bahkan dioperasionalkan melalui kebijakan kementerian-kementerian terkait. Dampaknya adalah aktivitas keberagamaan dan tempat-tempat ibadah agama dan kepercayaan minoritas didiskriminasi bahkan dalam banyak peristiwa dikriminalisasi. Dalam keadaan seperti ini Negara terkesan tak mampu lagi bergerak dan berdiri tegak di atas Konstitusi, UUD 1945.

Aspirasi-aspirasi social-politik-agama yang dilegitimasi oleh kebijakan-kebijakan Negara, dengan nuansa-nuansa keagamaan atau keyakinan pandangan keagamaan tertentu, muncul di seluruh daerah. Dalam konteks ini tubuh perempuan sering menjadi sasaran utama untuk disudutkan, dialienasi, dikontrol dan didiskriminasi pada aktivitas-aktivitas social, ekonomi, budaya dan politik, atas nama agama dan moralitas. Komnas Perempuan mencatat lebih dari 340 kebijakan diskriminatif, baik menyangkut relasi antar warga Negara, maupun secara lebih khusus diskriminasi terhadap perempuan. Ini merupakan problem serius, sekaligus mengganggu keberadaan hukum-hukum nasional. Demokrasi mengalami deficit. Dan lebih dari semuanya adalah ancaman terhadap eksistensi Konstitusi dan bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan seluruh kebhinekaannya yang indah itu. Boleh jadi keberadaan beberapa kebijakan public/politik tersebut dipandang tidak ada masalah jika dilihat dari kacamata procedur demokrasi, dimana kehendak mayoritas diapresiasi. Akan tetapi ia menjadi sangat krusial dilihat dari aspek substansial dan dampak-dampaknya bagi sebagian masyarakat dan secara lebih khusus kaum perempuan. Jaminan konstitusional untuk perlindungan terhadap hak-hak asasi seluruh warganya, tanpa kecuali, lalu menjadi terabaikan dan tersingkirkan. Kebijakan-kebijakan Negara tersebut, jika begitu, boleh dikatakan telah mengabaikan kebhinekaan bangsa, hak-hak asasi manusia sekaligus mereduksi demokrasi substansial, kewibawaan Konstitusi dan keadilan hukum.

Pancasila dan UUD 1945 sebagai Fondasi

Menjelang kemerdekaan tahun 1945, isu-isu relasi antara Agama dan Negara diperdebatkan para pendiri bangsa dalam suasana yang acapkali mencekam dan nyaris menunda deklarasi kemerdekaan untuk waktu yang tak pasti. Setelah perdebatan yang panjang, berhari-hari, berlarut-larut dan amat melelahkan, sebuah kompromi akhirnya dicapai. Pancasila sebagai ideology Negara dan UUD 1945 sebagai landasan Konstitusionalnya. Kebesaran jiwa, kearifan dan sikap kenegarawanan para pendiri Negara bangsa inilah yang memungkinkan ia terjadi. Pancasila sebagai dasar negara diyakini sebagai wujud dari hubungan paling ideal antara Agama dan Negara. Ia, sekaligus hendak menegaskan bahwa Indonesia bukanlah Negara Agama, bukan Negara teokrasi, tetapi juga bukan Negara sekular. Sila Pertama Pancasila; Ketuhanan Yang Maha Esa, menunjukkan dengan jelas Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan kepercayaan. Agama/Kepercayaan/keyakinan menjadi landasan etis, moral dan spiritual bagi bangunan social, ekonomi, kebudayaan dan politik Negara bangsa dalam rangka mewujudkan kadilan social bagi seluruh warga negaranya, tanpa diskriminasi atas dasar apapun juga.

Pancasila dan UUD 1945 telah menjadi titik temu paling ideal dari berbagai aspirasi dan kehendak-kehendak yang beragam dari para penganut agama-agama, kepercayaan-kepercayaan dan penghayat. Seluruh perbedaan keyakinan ini telah lama hadir di bumi Nusantara, tempat Negara Republik ini, sebelum menjadi merdeka, bahkan secara bersama-sama kemudian memperjuangkan kemerdekaannya dengan segenap jiwa raganya. Para pemeluk agama dan kepercayaan meyakini bahwa Agama dan kepercayaan mereka sejak awal dihadirkan di tengan-tengah makhluk Tuhan, untuk misi pembebasan manusia dari segala bentuk system sosial yang diskriminatif, demi penghargaan atas martabat manusia, untuk keadilan sosial, menciptakan persaudaraan dan kesejahteraan bersama umat manusia. Ini semua merupakan nilai-nilai agung, fundamental dan universal dalam semua agama dan kepercayaan. Ia adalah dambaan semua orang di muka bumi ini. K.H. Ahmad Sidik, Rois ‘Am Syuriah PBNU, dalam pidatonya di hadapan para ulama NU dalam Muktamar 1984 di Situbondo menegaskan: “Dengan demikian, Republik Indonesia adalah bentuk upaya final seluruh Nation, teristimewa kaum muslimin, untuk mendirikan negara di wilayah Nusantara. Para ulama dalam NU meyakini bahwa penerimaan Pancasila ini dimaksudkan sebagai perjuangan bangsa untuk mencapai kemakmuran dan keadilan social”.

Dari pijakan dasar spritualitas inilah, Pancasila dan Konstitusi Negara Republik Indonesia, yakni UUD 1945, harus menjadi dasar fundamental bagi seluruh produk kebijakan public-politik, dalam segala bentuknya sekaligus tidak boleh bertentangan dengannya. Konsekwensi logisnya adalah bahwa setiap kebijakan public-politik di bawah Konstitusi harus direvisi atau dibatalkan.

Kebhinekaan adalah Indonesia
Indonesia adalah Negara dengan sejuta keragaman yang menyebar di lebih dari 17.000 pulau. Di dalamnya ada lebih dari 1100 suku bangsa yang berkomunikasi dengan ratusan bahasa dan dialek, dengan puluhan agama, ratusan keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui sebutan yang berbeda-beda dan beribadah kepada-Nya dengan tata-cara yang berbeda-berbeda. Di sana juga ada ribuan adat-istiadat dan tradisi yang beragam. Ini adalah warisan yang berasal dari berabad-abad masa-masa silam Indonesia. Perbedaan-perbedaan latarbelakang agama, keyakinan, adat-istiadat, suku dan bahasa, tidak menjadi penghalang bagi mereka, laki-laki dan perempuan untuk bekerjasama, saling membantu dan membangun kehidupan yang diidamkannya serta berjuang bersama untuk menjadi sebuah komunitas besar yang bernama Negara-bangsa.
Keberagaman realitas masyarakat Indonesia dan cita-cita untuk membangun bangsa dirumuskan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Keberadaan itu tak dapat dinafikan oleh siapapun dan dengan cara apapun. Indonesia adalah Bhinneka, dan Kebhinekaan adalah Indonesia. Meniadakannya adalah meniadakan Indonesia. Itulah makna menjadi Indonesia. Untuk menjaga situasi keberagaman yang damai dan keindonesiaan yang utuh, bangsa ini memerlukan para pemimpin yang berpandangan luas, arif dan bekerja keras dengan tulus, bukan hanya pandai berorasi.
 
Jakarta, 20 Januari 2014

Husein Muhammad
Komisioner Komnas Perempuan
Pengasuh Pesantren Dar al-Tauhid Cirebon
Pendiri Fahmina Institute, Cirebon

Jumat, 24 Januari 2014

KIYAI SAHAL



KIYAI SAHAL, ALIM PROGRESIF DAN ARIF
Oleh : Husein Muhammad



Kiyai Haji Muhammad Ahmad Sahal Mahfuzh adalah satu di antara sosok ulama (alim) terkemuka Indonesia zaman ini yang  memberikan apresiasi dan respon positif terhadap gagasan fiqh kontekstual. Beliau termasuk ulama yang sangat gelisah jika fiqh harus mengalami kondisi stagnan atau tidak mampu mengatasi suatu masalah social, kebangsaan dan kemanusiaan. Sebab ini akan berarti agama menjadi tidak berfungsi solutif atas permasalah manusia. Dengan kapasitas ilmunya yang sangat luas dan mendalam beliau mengajak orang lain untuk bergerak ke arah penyelesaian dan pemecahan masalah dan bukannya hanya semata-mata bisa menjawab masalah, tanpa mempertimbangkan relevansi dan efektifitasnya. Sejumlah tulisannya tentag fiqh seperti dalam bukunya yang terkenal “Fiqh Sosial”, memperlihatkan dengan jelas bagaimana beliau mampu mengetengahkan kajian fiqh dengan pendekatan kontekstual. Saya kira agak sulit bagi kita menemukan sosok ulama pesantren atau kiyai yang mempunyai pikiran yang demikian maju dan boleh jadi bisa disebut progresif. Lebih jauh, dari sekedar menjawab dengan fiqh, Kiyai Sahal adalah seorang pemikir fiqh (ushuli), yakni ahli dalam metodologi fiqh. Ini berkat keahliannya tentang kaedah-kaedah fiqh dan ushul fiqh (teori-teori fiqh/hukum syari’ah). Bahkan sudah sejak lama Kiyai Sahal telah menulis kaedah-kaedah fiqh dalam bahasa Arab yang sangat bagus, layaknya orang Arab saja. Kumpulan pemikirannya yang dituangkan dalam sejumlah buku yang ditulisnya, jelas memberikan kesan yang mendalam betapa kentalnya kaedah fiqh dalam pemikiran beliau. Hampir setiap jawaban yang disampaikan berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan masyarakat awam, atau yang dilihat dalam kehidupan social, selalu diselipkan dasar-dasar fiqhnya yang diambil dari karyanya “Al-Qawa’id al Fiqhiyyah al-Hajiniyyah”. Tetapi hal yang menarik dari Kiyai Sahal adalah bahwa beliau tetap berhati-hati untuk keluar dari pemikiran fiqh dominan atau mainstream. Artinya, jika jawaban yang diberikan cukup memberikan pemahaman melalui pendekatan qauli, tekstual, dari mazhab Syafi’i, maka beliau tidak perlu mencari jawaban dari mazhab lain. Pandangan fiqh mazhab lain baru disampaikan sebagai alternatif jika lebih berpeluang untuk diamalkan oleh yang bersangkutan. Dengan begitu, Kiyai Sahal tetap ingin berada dan menyantuni tradisinya, baik dalam kaitannya dengan fiqh qauli maupun fiqh manhaji. Ini tentu saja mengantarkan beliau sebagai ahli fiqh yang moderat dan tidak terbawa oleh arus “liberal” seperti pikiran murid-muridnya, antara lain Ulil Abshar Abdallah atau anak muda NU lain yang berpikiran maju. Meski tidak sejalan, tetapi Kiyai Sahal adalah ulama yang arif dalam menyikapi pikiran-pikiran anak-anak muda NU yang memiliki kecenderungan berpikir “liberal” tersebut. Beliau  alih-alih mengkafirkan atau memberi label sesat atasnya, malahan mengajaknya untuk berdiskusi dengan baik. Buku saja “Fiqh Perempuan: Refleksi Kiyai atas Wacana Islam dan Gender”, bahkan diapresiasi dengan sangat mengesankan. Sikap dan cara pandang ini sesungguhnya, dalam pandangan saya juga menjadi karakter ulama NU lainnya. Ini berbeda dengan sikap kelompok lain yang mudah melabel sesat, mengkafirkan dan memurtadkan orang yang berbeda pandangan dengan mainstream. Sikap seperti Kiyai Sahal itu, dalam pandangan saya, memperlihatkan kedalaman dan keluasan ilmu seseorang sekaligus tanda kearifannya. 

Hal lain yang paling menarik dari pemikiran Kiyai Sahal tentu saja adalah pandangannya tentang fiqh sebagai kumpulan pikiran ulama yang sejatinya dibuat untuk menciptakan moralitas kemanusiaan. Kiyai Sahal menyebutnya  “Fiqh sebagai Etika Sosial”. Inilah pikiran brilian Kiyai Sahal yang membuatnya pantas memperoleh penghargaan akademis bergengsi : Doktor, dari UIN Jakarta, meski ia tak pernah menulisnya, manakala diminta mengisi  CV untuk keperluan seminar atau yang lain. Usai orasi doktoralnya, Gus Dur segera memberikan apresiasi kepadanya atas tesis pamannya itu. Gus Dur menghendaki paradigm ini diikuti para ulama lain. Sayang sekali, tidak banyak orang yang bisa memahami paradigma yang ditawarkan Kiyai Sahal ini.

Selamat Jalan Kiyai Sahal. “Ya Ayyatuhannafs al-Muthminnah Irji’i Ila Rabbiki Radhiyah Mardhiyyah Fa Udkhuli fi ‘Ibadi wa Udkhuli Jannati”.

Stasiun Gambir, 240114


Berasal dari tulisan untuk Epilog buku : “Wajah Baru Fiqh Pesantren”, ed. Aziz Hakim Saeroziy, Citra Pustaka, Jakarta, 2004.






PENYAIR PEREMPUAN PESANTREN



PENYAIR PEREMPUAN PESANTREN
 (Bag. 1)
Setumpuk Surat Cinta Nyai Masriah*
Oleh : Husein Muhammad


Uhibbuka Hubbain
Hubba al Hawa wa Hubban li Annaka
Ahlun li Dzaka
Fa Amma al Ladzi huwa Hubb al Hawa
Fa Syughli bi Dzikrika 'Amman Siwaka
Wa Amma al ladzi Huwa Ahlun Lahu
Fa Kasyfuka li al Hujba Hatta Araka
Fa la al Hamd fi Dza wa Dazaka Li
Wa Lakin Laka al Hamd fi Dza wa Dzaka

Aku menyintai-Mu, sungguh
Lantaran hasrat rindu kasmaran
Dan lantaran hanya Engkau saja
Satu-satunya Yang patut Dicinta

Aku tiada pernah henti
Menyebut nama-Mu
Aku emoh yang lain

Aku menjemba pada-Mu
Singkapkan tirai Wajah-Mu
Biar aku bisa menatapmu seluruh

Aku tak minta dipuji karena cinta ini dan itu
Pujian untuk cinta ini dan itu hanya milik-Mu

Bait-bait di atas adalah lantunan melankoli Ummi Kultsum, maha bintang dari Timur (al Kaukab al Syarq) yang legendaris itu. Bait-bait itu dikutip dari desah sendu Rabi'ah Adawiyah (w. 185 H/801 M), sang sufi perempuan fenomenal dari Baghdad. Namanya selalu disebut-sebut dalam sejarah mistisisme Islam sebagai pelopor sufi Cinta Tuhan (raidah al isyq al ilahi). Dia mahaguru bagi beribu sufi besar lain. Rabi'ah adalah anak perempuan ke empat dari keluarga teramat faqir. Menjelang kelahirannya, semua pintu yang diketuk ayahnya menolak memberi minyak kelapa untuk pusar sang jabang bayi Rabi'ah. Rabi'ah kecil dan muda adalah perempuan cantik dengan sejuta nestapa. Derita demi derita terus menerpa dan menerjang. Dan dia tabah. Di kamarnya yang pengap nan gelap Rabi'ah sujud berlama-lama. Dan cahaya tiba-tiba berpendar mengisi ruang sujud Rabi'ah. Wajah Rabi'ah sumringah. Dia terbakar api cinta. Rabi'ah kasmaran.


Mari ke kamarku, Kekasih, sebentar saja
Gelorakan jiwa kita, Kekasih, sebentar saja
Duhai malam, berpanjanglah
Duhai sarat kantuk, menghilanglah
Biar kita bisa bercinta dan terbakar

Begitulah kira-kira Rab'iah bersenandung dalam sepi malam yang kudus. Rabi'ah selalu merindukan malam datang. Dan bila malam tiba, dia merengek-rengek minta jangan pergi. Manakala matahari merekah, dia menangis tersedu-sedu. Aduhai dukaku! 

·         Prolog untuk Buku “Setumpuk Surat Cinta”

PATRIARKHISME ARAB



PATRIARKHISME DALAM SASTRA ARAB
MEMBACA BUKU FREE HEARTY


Saya sungguh memperoleh penghormatan besar dari sahabat baik saya Free Hearty, karena diberi kesempatan untuk menulis pengantar atas bukunya yang berjudul “Sastra Timur Tengah: Tinjauan dari Perspektif Gender”. Karya ini sungguh-sungguh mengagumkan. Analisis gender melalui karya sastra sungguh tidak banyak ditemukan dalam diskusi-diskusi mengenai isu ini. Free adalah orang Indonesia yang memberikan perhatian demikian serius terhadap isu-isu ini dari kacamata sastra melalui tiga karya sastra dari tokoh terkenal di Timur Tengah; “Women at Point Zero” Nawal El-Saadawi, “The Beginning and The End”, Naguib Mahfouzd, dan A Wife for My Son”.

Saya telah membaca karya Nawal itu sekitar sepuluh tahun yang lalu, melalui terjemahan Indonesia: Perempuan di Titik Nol”, terbitan Yayasan Obor. Novel ini telah menggugah kesadaran saya tentang realitas perempuan di negeri tempat saya pernah bermukim singkat. Beberapa tahun kemudian saya juga memberikan tanggapan atas tulisan-tulisan Nawal yang dihimpun dalam buku berjudul “Pergolakan Pemikiran dan Politik Perempuan: Esai-Esai Nawal El-Saadawi”, ketika ia dilaunching Kalyanamitra, penerbitnya beberapa tahun lalu. Demikian juga Novel karya Naguib Mahfoudz, sastrawan terkemuka Mesir dan peraih nobel Sastra: “Al-Bidayah wa al-Nihayah”(Awal dan Akhir), dan beberapa novelnya yang lain dalam bahasa Arab. Nah, Ali Ghalim, yang menurut informasi Free adalah seorang sutradara film dari Aljazair, sungguh saya belum mengenalnya.

Membaca tiga novel ini, tampak jelas bagi siapa saja bahwa patriarkhisme telah melanda berbagai wilayah di dunia Arab. System ini telah menancap demikian kuat dalam kultur di sana berabad-abad. Para penulis melalui tokoh-tokoh sentral atau pemain utamanya mengungkapkan kisah-kisah menyedihkan yang dialami perempuan, tak peduli apakah anaknya, isterinya, keluarganya sendiri maupun perempuan-perempuan lainnya. Diskriminasi, marginalisasi, subordinasi, stereotype dan beban ganda telah menjadi banal. Keadaan ini secara tak terelakkan kemudian melahirkan berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan.

Tiga penulis di atas mengakui bahwa realitas patriarkhisme dan diskriminasi terhadap perempuan tersebut sungguh-sungguh melanggar hak-hak alamiyah manusia atau dengan kata lain menghancurkan hak-hak kemanusiaan. Ketiganya melakukan kritik tajam dan keras terhadap realitas ini dengan caranya masing-masing. Saya kira Nawal adalah feminis yang sangat lantang dalam pemberontakannya atas hal ini, dengan menyalahkan laki-laki. Nawal dengan seakan-akan sengaja membuka front terbuka  melakukan perlawanan ini, termasuk terhadap tokoh-tokoh yang menggunakan dan memanfaatkan teks-teks agama sebagai dasar legitimasi patriarkhisme dan diskriminasi terhadap perempuan itu. Free mengkritik cara Nawal dan dia menyimpulkan : “Pola perjuangan yang digunakan Sadawi dalam memaparkan kisah dalam teks WAPZ, sama dengan pola perjuangan feminis radikal dan feminis gelombang kedua”. (Free, hlm. 9). Dan terhadapnya Free tampaknya tidak terlalu setuju. Dalam sebuah percakapan saya dengan Free, suatu hari, dia mengatakan:”Nawal tidak konsisten”.

Ini berbeda dengan pendekatan yang digunakan Naguib Mahfoudz. Dia tidak menyalahkan laki-laki sebagai penyebab berlangsungnya kondisi tersebut. Bagi Mahfoudz, laki-laki boleh jadi salah ketika dia melakukan kekerasan terhadap perempuan. Tetapi laki-laki juga boleh jadi menjadi korban dari system itu. Dia mengkritik konstruksi social yang tidak adil. Titik pijak Mahfoudz adalah system social-budaya dan pemikiran keagamaan yang tidak adil dan tidak manusiawi. Mahfoudz memang tidak dikenal sebagai laki-laki feminis. Namanya lebih dikenal sebagai filosof-sastrawan yang secara terus menerus memperjuangkan demokrasi, hak-hak asasi manusia dan keadilan social-politik-kebudayaan. Mahfoudz tampaknya ingin mengkritisi system politik yang dihadapi negaranya: Mesir. Free menulis dengan jelas :Mahfoudz sama sekali tidak memunculkan cerita tentang diskriminasi jender atau pemberontakan perempuan yang keluar dari dominasi laki-laki atau meninggalkan peran tradisinya. Mahfoudz membicarakan hubungan kemanusiaan bagi manusia dari perspektif Humanisme”(Free, hlm. 14). Analisis Free terhadap Mahfoudz ini memberi kesan bahwa dia seakan-akan tidak peduli dengan penderitaan perempuan.

Ali Ghalim.  Saya memang tidak mengenal penulis ini dan Free menyatakan bahwa dia juga tidak dikenal sebagai seorang sastrawan, tetapi Free menganggap penting tokoh ini untuk membandingkannya dengan dua penulis yang sudah disebut. Sesudah membaca buku Free ini, saya punya kesan sepertinya dia punya sikap yang sedikit mirip dengan Mahfoudz. Tetapi Free menganggap dia punya sikap ambigu. “Ghalim dengan halus memunculkan nada penolakan terhadap gagasan feminism… Namun di sisi lain, ditemukan pula nada simpati terhadap gerakan perempuan yang menginginkan perubahan”.(Free, hlm. 12)

Baik Mahfoudz maupun Ali Ghalim sama-sama seakan-akan tidak menganggap begitu signifikan terhadap isu-isu patriarkhisme ini, meskipun keduanya adalah aktivis kemanusiaan. Saya juga telah lama punya kesan bahwa banyak aktivis demokrasi, pluralisme dan hak-hak asasi manusia terlihat gamang, untuk tidak mengatakan inkonsisten, ketika sudah bicara tentang kesetaraan dan keadilan gender. Patriarkhisme tampaknya memang telah merasuki otak bawah sadar banyak orang sedemikian rupa sehingga mereka kehilangan kepekaan atasnya. Perjuangan untuk menghapuskan system ini lalu menjadi proyek panjang dan berpuluh abad.
 
Terlepas dari cara pendekatan yang berbeda dari tiga penulis novel di atas dalam merespon patriarkhisme, tetapi para penulis novel sepakat mengakui bahwa ada realitas ketidakadilan berdasarkan gender yang harus diatasi. Melalui karya sastra masing-masing, ketiganya bekerja dan berusaha mereduksi ketidakadilan itu, dengan caranya sendiri-sendiri, sebagaimana sudah disebutkan.

Akan tetapi adalah sungguh menarik bahwa aktifisme masyarakat, di Mesir, di Aljazair, maupun di bagian dunia muslim lain, baik yang membenarkan, membiarkan, maupun yang menolak diskriminasi atas hak-hak perempuan tersebut sama-sama mencari dukungan legitimasi keagamaan melalui cara penafsirannya masing-masing atas teks-teks keagamaan. Dalam masyarakat Timur Tengah di mana Islam adalah agama yang dipeluk mayoritas warganya, maka sumber-sumber legitimasi adalah teks-teks suci al-Qur’an, hadits Nabi dan produk-produk tafsir ulama atas kedua teks utama tersebut. Dan tafsir-tafsir agama itu dalam perjalanan kebudayaan lalu berubah menjadi agama itu sendiri. Ya, produk pikiran yang kontekstual itu kini menjadi sebuah keyakinan yang seakan teramat sulit untuk digugat.