Jumat, 07 Februari 2014

MENJADI INDONESIA



MENJADI INDONESIA
Oleh : Husein Muhammad

( dimuat di Koran Sindo, 08 Pebruari 2014, kolom Opini)

15 tahun Reformasi Indonesia telah berlangsung. Ia adalah sebuah kosakata yang indah. Ia menyimpan impian-impian bangsa Indonesia untuk menjadi manusia dan menjadi Indonesia. Zaman itu lahir menyusul teriakan-teriakan membahana warga bangsa di seluruh bagian bumi negeri itu. Mereka menuntut berakhirnya kekuasaan politik sentralistik dan tunggal yang represif, selama bertahun-tahun. Sentralisasi dan ketunggalan kekuasaan pada hampir seluruh pengambilan kebijakan public selama itu telah mematikan kehidupan demokrasi dan menghilangkan hak-hak ekspresi dan aktualisasi diri manusia Indonesia. Meski tak tampak ingar binger, sistem ini juga mendiskriminasi kebhinekaan keyakinan dan agama warga Negara. UU No. 1/PNPS/1965 yang dikeluarkan pemerintah orde lama dikukuhkan melalui UU No. 5/PNPS/1969 dan Surat Keputusan Bersama No. 01/BER/mdn-mag/1969.
Reformasi lalu melahirkan otonomisasi daerah. Paradigma ini diidealkan sebagai cara atau jalan baru bagi upaya mewudjudkan Indonesia secara lebih demokratis dan lebih luas, menyeluruh dan substansial. Demokrasi luas dan substansial meniscayakan keterlibatan semua warga negara dalam pengambilan keputusan social-politik, pengakuan, penghargaan, perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia, persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang kehidupan, kebebasan dan pengakuan terhadap perbedaan/keragaman identitas; suku, agama, golongan, dan sebagainya. Demokrasi seperti itulah impian seluruh warga Negara bangsa ini, dulu, kini dan untuk selamanya.

Tetapi dalam realitas Indonesia hari ini, janji otonomisasi dengan seluruh konsekuensinya itu telah mengaburkan mimpi-mimpi tersebut. Demokrasi kini seakan menjadi ajang perebutan kekuasaan politik secara tak terkendali, demi kepentingan diri, golongan, komunitas dan agamanya. Setiap orang/kelompok social dan atau keyakinan agama dibiarkan bicara apa saja, mengatasnamakan apa saja dan dengan cara apa saja untuk memenangkan pertarungan itu. Atas nama demokrasi, terma mayoritas-minoritas sepertinya menjadi kata pamungkas. UU No. 1/PNPS/1965, digunakan sebagai alat legitimasi atasnya, bahkan dioperasionalkan melalui kebijakan kementerian-kementerian terkait. Dampaknya adalah aktivitas keberagamaan dan tempat-tempat ibadah agama dan kepercayaan minoritas didiskriminasi bahkan dalam banyak peristiwa dikriminalisasi. Dalam keadaan seperti ini Negara terkesan tak mampu lagi bergerak dan berdiri tegak di atas Konstitusi, UUD 1945.

Aspirasi-aspirasi social-politik-agama yang dilegitimasi oleh kebijakan-kebijakan Negara, dengan nuansa-nuansa keagamaan atau keyakinan pandangan keagamaan tertentu, muncul di seluruh daerah. Dalam konteks ini tubuh perempuan sering menjadi sasaran utama untuk disudutkan, dialienasi, dikontrol dan didiskriminasi pada aktivitas-aktivitas social, ekonomi, budaya dan politik, atas nama agama dan moralitas. Komnas Perempuan mencatat lebih dari 340 kebijakan diskriminatif, baik menyangkut relasi antar warga Negara, maupun secara lebih khusus diskriminasi terhadap perempuan. Ini merupakan problem serius, sekaligus mengganggu keberadaan hukum-hukum nasional. Demokrasi mengalami deficit. Dan lebih dari semuanya adalah ancaman terhadap eksistensi Konstitusi dan bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan seluruh kebhinekaannya yang indah itu. Boleh jadi keberadaan beberapa kebijakan public/politik tersebut dipandang tidak ada masalah jika dilihat dari kacamata procedur demokrasi, dimana kehendak mayoritas diapresiasi. Akan tetapi ia menjadi sangat krusial dilihat dari aspek substansial dan dampak-dampaknya bagi sebagian masyarakat dan secara lebih khusus kaum perempuan. Jaminan konstitusional untuk perlindungan terhadap hak-hak asasi seluruh warganya, tanpa kecuali, lalu menjadi terabaikan dan tersingkirkan. Kebijakan-kebijakan Negara tersebut, jika begitu, boleh dikatakan telah mengabaikan kebhinekaan bangsa, hak-hak asasi manusia sekaligus mereduksi demokrasi substansial, kewibawaan Konstitusi dan keadilan hukum.

Pancasila dan UUD 1945 sebagai Fondasi

Menjelang kemerdekaan tahun 1945, isu-isu relasi antara Agama dan Negara diperdebatkan para pendiri bangsa dalam suasana yang acapkali mencekam dan nyaris menunda deklarasi kemerdekaan untuk waktu yang tak pasti. Setelah perdebatan yang panjang, berhari-hari, berlarut-larut dan amat melelahkan, sebuah kompromi akhirnya dicapai. Pancasila sebagai ideology Negara dan UUD 1945 sebagai landasan Konstitusionalnya. Kebesaran jiwa, kearifan dan sikap kenegarawanan para pendiri Negara bangsa inilah yang memungkinkan ia terjadi. Pancasila sebagai dasar negara diyakini sebagai wujud dari hubungan paling ideal antara Agama dan Negara. Ia, sekaligus hendak menegaskan bahwa Indonesia bukanlah Negara Agama, bukan Negara teokrasi, tetapi juga bukan Negara sekular. Sila Pertama Pancasila; Ketuhanan Yang Maha Esa, menunjukkan dengan jelas Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan kepercayaan. Agama/Kepercayaan/keyakinan menjadi landasan etis, moral dan spiritual bagi bangunan social, ekonomi, kebudayaan dan politik Negara bangsa dalam rangka mewujudkan kadilan social bagi seluruh warga negaranya, tanpa diskriminasi atas dasar apapun juga.

Pancasila dan UUD 1945 telah menjadi titik temu paling ideal dari berbagai aspirasi dan kehendak-kehendak yang beragam dari para penganut agama-agama, kepercayaan-kepercayaan dan penghayat. Seluruh perbedaan keyakinan ini telah lama hadir di bumi Nusantara, tempat Negara Republik ini, sebelum menjadi merdeka, bahkan secara bersama-sama kemudian memperjuangkan kemerdekaannya dengan segenap jiwa raganya. Para pemeluk agama dan kepercayaan meyakini bahwa Agama dan kepercayaan mereka sejak awal dihadirkan di tengan-tengah makhluk Tuhan, untuk misi pembebasan manusia dari segala bentuk system sosial yang diskriminatif, demi penghargaan atas martabat manusia, untuk keadilan sosial, menciptakan persaudaraan dan kesejahteraan bersama umat manusia. Ini semua merupakan nilai-nilai agung, fundamental dan universal dalam semua agama dan kepercayaan. Ia adalah dambaan semua orang di muka bumi ini. K.H. Ahmad Sidik, Rois ‘Am Syuriah PBNU, dalam pidatonya di hadapan para ulama NU dalam Muktamar 1984 di Situbondo menegaskan: “Dengan demikian, Republik Indonesia adalah bentuk upaya final seluruh Nation, teristimewa kaum muslimin, untuk mendirikan negara di wilayah Nusantara. Para ulama dalam NU meyakini bahwa penerimaan Pancasila ini dimaksudkan sebagai perjuangan bangsa untuk mencapai kemakmuran dan keadilan social”.

Dari pijakan dasar spritualitas inilah, Pancasila dan Konstitusi Negara Republik Indonesia, yakni UUD 1945, harus menjadi dasar fundamental bagi seluruh produk kebijakan public-politik, dalam segala bentuknya sekaligus tidak boleh bertentangan dengannya. Konsekwensi logisnya adalah bahwa setiap kebijakan public-politik di bawah Konstitusi harus direvisi atau dibatalkan.

Kebhinekaan adalah Indonesia
Indonesia adalah Negara dengan sejuta keragaman yang menyebar di lebih dari 17.000 pulau. Di dalamnya ada lebih dari 1100 suku bangsa yang berkomunikasi dengan ratusan bahasa dan dialek, dengan puluhan agama, ratusan keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui sebutan yang berbeda-beda dan beribadah kepada-Nya dengan tata-cara yang berbeda-berbeda. Di sana juga ada ribuan adat-istiadat dan tradisi yang beragam. Ini adalah warisan yang berasal dari berabad-abad masa-masa silam Indonesia. Perbedaan-perbedaan latarbelakang agama, keyakinan, adat-istiadat, suku dan bahasa, tidak menjadi penghalang bagi mereka, laki-laki dan perempuan untuk bekerjasama, saling membantu dan membangun kehidupan yang diidamkannya serta berjuang bersama untuk menjadi sebuah komunitas besar yang bernama Negara-bangsa.
Keberagaman realitas masyarakat Indonesia dan cita-cita untuk membangun bangsa dirumuskan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Keberadaan itu tak dapat dinafikan oleh siapapun dan dengan cara apapun. Indonesia adalah Bhinneka, dan Kebhinekaan adalah Indonesia. Meniadakannya adalah meniadakan Indonesia. Itulah makna menjadi Indonesia. Untuk menjaga situasi keberagaman yang damai dan keindonesiaan yang utuh, bangsa ini memerlukan para pemimpin yang berpandangan luas, arif dan bekerja keras dengan tulus, bukan hanya pandai berorasi.
 
Jakarta, 20 Januari 2014

Husein Muhammad
Komisioner Komnas Perempuan
Pengasuh Pesantren Dar al-Tauhid Cirebon
Pendiri Fahmina Institute, Cirebon