Jumat, 24 Januari 2014

KIYAI SAHAL



KIYAI SAHAL, ALIM PROGRESIF DAN ARIF
Oleh : Husein Muhammad



Kiyai Haji Muhammad Ahmad Sahal Mahfuzh adalah satu di antara sosok ulama (alim) terkemuka Indonesia zaman ini yang  memberikan apresiasi dan respon positif terhadap gagasan fiqh kontekstual. Beliau termasuk ulama yang sangat gelisah jika fiqh harus mengalami kondisi stagnan atau tidak mampu mengatasi suatu masalah social, kebangsaan dan kemanusiaan. Sebab ini akan berarti agama menjadi tidak berfungsi solutif atas permasalah manusia. Dengan kapasitas ilmunya yang sangat luas dan mendalam beliau mengajak orang lain untuk bergerak ke arah penyelesaian dan pemecahan masalah dan bukannya hanya semata-mata bisa menjawab masalah, tanpa mempertimbangkan relevansi dan efektifitasnya. Sejumlah tulisannya tentag fiqh seperti dalam bukunya yang terkenal “Fiqh Sosial”, memperlihatkan dengan jelas bagaimana beliau mampu mengetengahkan kajian fiqh dengan pendekatan kontekstual. Saya kira agak sulit bagi kita menemukan sosok ulama pesantren atau kiyai yang mempunyai pikiran yang demikian maju dan boleh jadi bisa disebut progresif. Lebih jauh, dari sekedar menjawab dengan fiqh, Kiyai Sahal adalah seorang pemikir fiqh (ushuli), yakni ahli dalam metodologi fiqh. Ini berkat keahliannya tentang kaedah-kaedah fiqh dan ushul fiqh (teori-teori fiqh/hukum syari’ah). Bahkan sudah sejak lama Kiyai Sahal telah menulis kaedah-kaedah fiqh dalam bahasa Arab yang sangat bagus, layaknya orang Arab saja. Kumpulan pemikirannya yang dituangkan dalam sejumlah buku yang ditulisnya, jelas memberikan kesan yang mendalam betapa kentalnya kaedah fiqh dalam pemikiran beliau. Hampir setiap jawaban yang disampaikan berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan masyarakat awam, atau yang dilihat dalam kehidupan social, selalu diselipkan dasar-dasar fiqhnya yang diambil dari karyanya “Al-Qawa’id al Fiqhiyyah al-Hajiniyyah”. Tetapi hal yang menarik dari Kiyai Sahal adalah bahwa beliau tetap berhati-hati untuk keluar dari pemikiran fiqh dominan atau mainstream. Artinya, jika jawaban yang diberikan cukup memberikan pemahaman melalui pendekatan qauli, tekstual, dari mazhab Syafi’i, maka beliau tidak perlu mencari jawaban dari mazhab lain. Pandangan fiqh mazhab lain baru disampaikan sebagai alternatif jika lebih berpeluang untuk diamalkan oleh yang bersangkutan. Dengan begitu, Kiyai Sahal tetap ingin berada dan menyantuni tradisinya, baik dalam kaitannya dengan fiqh qauli maupun fiqh manhaji. Ini tentu saja mengantarkan beliau sebagai ahli fiqh yang moderat dan tidak terbawa oleh arus “liberal” seperti pikiran murid-muridnya, antara lain Ulil Abshar Abdallah atau anak muda NU lain yang berpikiran maju. Meski tidak sejalan, tetapi Kiyai Sahal adalah ulama yang arif dalam menyikapi pikiran-pikiran anak-anak muda NU yang memiliki kecenderungan berpikir “liberal” tersebut. Beliau  alih-alih mengkafirkan atau memberi label sesat atasnya, malahan mengajaknya untuk berdiskusi dengan baik. Buku saja “Fiqh Perempuan: Refleksi Kiyai atas Wacana Islam dan Gender”, bahkan diapresiasi dengan sangat mengesankan. Sikap dan cara pandang ini sesungguhnya, dalam pandangan saya juga menjadi karakter ulama NU lainnya. Ini berbeda dengan sikap kelompok lain yang mudah melabel sesat, mengkafirkan dan memurtadkan orang yang berbeda pandangan dengan mainstream. Sikap seperti Kiyai Sahal itu, dalam pandangan saya, memperlihatkan kedalaman dan keluasan ilmu seseorang sekaligus tanda kearifannya. 

Hal lain yang paling menarik dari pemikiran Kiyai Sahal tentu saja adalah pandangannya tentang fiqh sebagai kumpulan pikiran ulama yang sejatinya dibuat untuk menciptakan moralitas kemanusiaan. Kiyai Sahal menyebutnya  “Fiqh sebagai Etika Sosial”. Inilah pikiran brilian Kiyai Sahal yang membuatnya pantas memperoleh penghargaan akademis bergengsi : Doktor, dari UIN Jakarta, meski ia tak pernah menulisnya, manakala diminta mengisi  CV untuk keperluan seminar atau yang lain. Usai orasi doktoralnya, Gus Dur segera memberikan apresiasi kepadanya atas tesis pamannya itu. Gus Dur menghendaki paradigm ini diikuti para ulama lain. Sayang sekali, tidak banyak orang yang bisa memahami paradigma yang ditawarkan Kiyai Sahal ini.

Selamat Jalan Kiyai Sahal. “Ya Ayyatuhannafs al-Muthminnah Irji’i Ila Rabbiki Radhiyah Mardhiyyah Fa Udkhuli fi ‘Ibadi wa Udkhuli Jannati”.

Stasiun Gambir, 240114


Berasal dari tulisan untuk Epilog buku : “Wajah Baru Fiqh Pesantren”, ed. Aziz Hakim Saeroziy, Citra Pustaka, Jakarta, 2004.






PENYAIR PEREMPUAN PESANTREN



PENYAIR PEREMPUAN PESANTREN
 (Bag. 1)
Setumpuk Surat Cinta Nyai Masriah*
Oleh : Husein Muhammad


Uhibbuka Hubbain
Hubba al Hawa wa Hubban li Annaka
Ahlun li Dzaka
Fa Amma al Ladzi huwa Hubb al Hawa
Fa Syughli bi Dzikrika 'Amman Siwaka
Wa Amma al ladzi Huwa Ahlun Lahu
Fa Kasyfuka li al Hujba Hatta Araka
Fa la al Hamd fi Dza wa Dazaka Li
Wa Lakin Laka al Hamd fi Dza wa Dzaka

Aku menyintai-Mu, sungguh
Lantaran hasrat rindu kasmaran
Dan lantaran hanya Engkau saja
Satu-satunya Yang patut Dicinta

Aku tiada pernah henti
Menyebut nama-Mu
Aku emoh yang lain

Aku menjemba pada-Mu
Singkapkan tirai Wajah-Mu
Biar aku bisa menatapmu seluruh

Aku tak minta dipuji karena cinta ini dan itu
Pujian untuk cinta ini dan itu hanya milik-Mu

Bait-bait di atas adalah lantunan melankoli Ummi Kultsum, maha bintang dari Timur (al Kaukab al Syarq) yang legendaris itu. Bait-bait itu dikutip dari desah sendu Rabi'ah Adawiyah (w. 185 H/801 M), sang sufi perempuan fenomenal dari Baghdad. Namanya selalu disebut-sebut dalam sejarah mistisisme Islam sebagai pelopor sufi Cinta Tuhan (raidah al isyq al ilahi). Dia mahaguru bagi beribu sufi besar lain. Rabi'ah adalah anak perempuan ke empat dari keluarga teramat faqir. Menjelang kelahirannya, semua pintu yang diketuk ayahnya menolak memberi minyak kelapa untuk pusar sang jabang bayi Rabi'ah. Rabi'ah kecil dan muda adalah perempuan cantik dengan sejuta nestapa. Derita demi derita terus menerpa dan menerjang. Dan dia tabah. Di kamarnya yang pengap nan gelap Rabi'ah sujud berlama-lama. Dan cahaya tiba-tiba berpendar mengisi ruang sujud Rabi'ah. Wajah Rabi'ah sumringah. Dia terbakar api cinta. Rabi'ah kasmaran.


Mari ke kamarku, Kekasih, sebentar saja
Gelorakan jiwa kita, Kekasih, sebentar saja
Duhai malam, berpanjanglah
Duhai sarat kantuk, menghilanglah
Biar kita bisa bercinta dan terbakar

Begitulah kira-kira Rab'iah bersenandung dalam sepi malam yang kudus. Rabi'ah selalu merindukan malam datang. Dan bila malam tiba, dia merengek-rengek minta jangan pergi. Manakala matahari merekah, dia menangis tersedu-sedu. Aduhai dukaku! 

·         Prolog untuk Buku “Setumpuk Surat Cinta”

PATRIARKHISME ARAB



PATRIARKHISME DALAM SASTRA ARAB
MEMBACA BUKU FREE HEARTY


Saya sungguh memperoleh penghormatan besar dari sahabat baik saya Free Hearty, karena diberi kesempatan untuk menulis pengantar atas bukunya yang berjudul “Sastra Timur Tengah: Tinjauan dari Perspektif Gender”. Karya ini sungguh-sungguh mengagumkan. Analisis gender melalui karya sastra sungguh tidak banyak ditemukan dalam diskusi-diskusi mengenai isu ini. Free adalah orang Indonesia yang memberikan perhatian demikian serius terhadap isu-isu ini dari kacamata sastra melalui tiga karya sastra dari tokoh terkenal di Timur Tengah; “Women at Point Zero” Nawal El-Saadawi, “The Beginning and The End”, Naguib Mahfouzd, dan A Wife for My Son”.

Saya telah membaca karya Nawal itu sekitar sepuluh tahun yang lalu, melalui terjemahan Indonesia: Perempuan di Titik Nol”, terbitan Yayasan Obor. Novel ini telah menggugah kesadaran saya tentang realitas perempuan di negeri tempat saya pernah bermukim singkat. Beberapa tahun kemudian saya juga memberikan tanggapan atas tulisan-tulisan Nawal yang dihimpun dalam buku berjudul “Pergolakan Pemikiran dan Politik Perempuan: Esai-Esai Nawal El-Saadawi”, ketika ia dilaunching Kalyanamitra, penerbitnya beberapa tahun lalu. Demikian juga Novel karya Naguib Mahfoudz, sastrawan terkemuka Mesir dan peraih nobel Sastra: “Al-Bidayah wa al-Nihayah”(Awal dan Akhir), dan beberapa novelnya yang lain dalam bahasa Arab. Nah, Ali Ghalim, yang menurut informasi Free adalah seorang sutradara film dari Aljazair, sungguh saya belum mengenalnya.

Membaca tiga novel ini, tampak jelas bagi siapa saja bahwa patriarkhisme telah melanda berbagai wilayah di dunia Arab. System ini telah menancap demikian kuat dalam kultur di sana berabad-abad. Para penulis melalui tokoh-tokoh sentral atau pemain utamanya mengungkapkan kisah-kisah menyedihkan yang dialami perempuan, tak peduli apakah anaknya, isterinya, keluarganya sendiri maupun perempuan-perempuan lainnya. Diskriminasi, marginalisasi, subordinasi, stereotype dan beban ganda telah menjadi banal. Keadaan ini secara tak terelakkan kemudian melahirkan berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan.

Tiga penulis di atas mengakui bahwa realitas patriarkhisme dan diskriminasi terhadap perempuan tersebut sungguh-sungguh melanggar hak-hak alamiyah manusia atau dengan kata lain menghancurkan hak-hak kemanusiaan. Ketiganya melakukan kritik tajam dan keras terhadap realitas ini dengan caranya masing-masing. Saya kira Nawal adalah feminis yang sangat lantang dalam pemberontakannya atas hal ini, dengan menyalahkan laki-laki. Nawal dengan seakan-akan sengaja membuka front terbuka  melakukan perlawanan ini, termasuk terhadap tokoh-tokoh yang menggunakan dan memanfaatkan teks-teks agama sebagai dasar legitimasi patriarkhisme dan diskriminasi terhadap perempuan itu. Free mengkritik cara Nawal dan dia menyimpulkan : “Pola perjuangan yang digunakan Sadawi dalam memaparkan kisah dalam teks WAPZ, sama dengan pola perjuangan feminis radikal dan feminis gelombang kedua”. (Free, hlm. 9). Dan terhadapnya Free tampaknya tidak terlalu setuju. Dalam sebuah percakapan saya dengan Free, suatu hari, dia mengatakan:”Nawal tidak konsisten”.

Ini berbeda dengan pendekatan yang digunakan Naguib Mahfoudz. Dia tidak menyalahkan laki-laki sebagai penyebab berlangsungnya kondisi tersebut. Bagi Mahfoudz, laki-laki boleh jadi salah ketika dia melakukan kekerasan terhadap perempuan. Tetapi laki-laki juga boleh jadi menjadi korban dari system itu. Dia mengkritik konstruksi social yang tidak adil. Titik pijak Mahfoudz adalah system social-budaya dan pemikiran keagamaan yang tidak adil dan tidak manusiawi. Mahfoudz memang tidak dikenal sebagai laki-laki feminis. Namanya lebih dikenal sebagai filosof-sastrawan yang secara terus menerus memperjuangkan demokrasi, hak-hak asasi manusia dan keadilan social-politik-kebudayaan. Mahfoudz tampaknya ingin mengkritisi system politik yang dihadapi negaranya: Mesir. Free menulis dengan jelas :Mahfoudz sama sekali tidak memunculkan cerita tentang diskriminasi jender atau pemberontakan perempuan yang keluar dari dominasi laki-laki atau meninggalkan peran tradisinya. Mahfoudz membicarakan hubungan kemanusiaan bagi manusia dari perspektif Humanisme”(Free, hlm. 14). Analisis Free terhadap Mahfoudz ini memberi kesan bahwa dia seakan-akan tidak peduli dengan penderitaan perempuan.

Ali Ghalim.  Saya memang tidak mengenal penulis ini dan Free menyatakan bahwa dia juga tidak dikenal sebagai seorang sastrawan, tetapi Free menganggap penting tokoh ini untuk membandingkannya dengan dua penulis yang sudah disebut. Sesudah membaca buku Free ini, saya punya kesan sepertinya dia punya sikap yang sedikit mirip dengan Mahfoudz. Tetapi Free menganggap dia punya sikap ambigu. “Ghalim dengan halus memunculkan nada penolakan terhadap gagasan feminism… Namun di sisi lain, ditemukan pula nada simpati terhadap gerakan perempuan yang menginginkan perubahan”.(Free, hlm. 12)

Baik Mahfoudz maupun Ali Ghalim sama-sama seakan-akan tidak menganggap begitu signifikan terhadap isu-isu patriarkhisme ini, meskipun keduanya adalah aktivis kemanusiaan. Saya juga telah lama punya kesan bahwa banyak aktivis demokrasi, pluralisme dan hak-hak asasi manusia terlihat gamang, untuk tidak mengatakan inkonsisten, ketika sudah bicara tentang kesetaraan dan keadilan gender. Patriarkhisme tampaknya memang telah merasuki otak bawah sadar banyak orang sedemikian rupa sehingga mereka kehilangan kepekaan atasnya. Perjuangan untuk menghapuskan system ini lalu menjadi proyek panjang dan berpuluh abad.
 
Terlepas dari cara pendekatan yang berbeda dari tiga penulis novel di atas dalam merespon patriarkhisme, tetapi para penulis novel sepakat mengakui bahwa ada realitas ketidakadilan berdasarkan gender yang harus diatasi. Melalui karya sastra masing-masing, ketiganya bekerja dan berusaha mereduksi ketidakadilan itu, dengan caranya sendiri-sendiri, sebagaimana sudah disebutkan.

Akan tetapi adalah sungguh menarik bahwa aktifisme masyarakat, di Mesir, di Aljazair, maupun di bagian dunia muslim lain, baik yang membenarkan, membiarkan, maupun yang menolak diskriminasi atas hak-hak perempuan tersebut sama-sama mencari dukungan legitimasi keagamaan melalui cara penafsirannya masing-masing atas teks-teks keagamaan. Dalam masyarakat Timur Tengah di mana Islam adalah agama yang dipeluk mayoritas warganya, maka sumber-sumber legitimasi adalah teks-teks suci al-Qur’an, hadits Nabi dan produk-produk tafsir ulama atas kedua teks utama tersebut. Dan tafsir-tafsir agama itu dalam perjalanan kebudayaan lalu berubah menjadi agama itu sendiri. Ya, produk pikiran yang kontekstual itu kini menjadi sebuah keyakinan yang seakan teramat sulit untuk digugat.   

AL-SYAMAIL AL-MUHAMMADIYYAH



MIN SYAMA-IL AL-NABI

Para penulis sejarah Nabi mengungkapkan beberapa  keluhuran pribadi Nabi.

(1)   Bila ada orang yang sakit Nabi menengoknya, meski berada di tempat yang jauh
(2)   Bila ada orang yang meninggal dunia, Nabi mengiring jenazahnya
(3)    Nabi sering duduk dalam posisi yang sama bersama-sama orang-orang fakir dan mengambilkan untuk mereka makanan dengan tangannya sendiri
(4)    Nabi senang menemui teman-temannya untuk sekedar silaturrahim (relasi kasih)
(5)    Nabi menghormati orang-orang yang berbudi pekerti luhur, dan tetap berbuat baik kepada orang yang perilakunya tidak ia sukai (Ahl al-Syarr)
(6)    Nabi suka mengunjungi kerabat dekatnya tanpa melebihkan mereka dari orang-orang yang lain
(7)    Nabi tidak pernah bertindak kasar kepada siapapun dan memaafkan orang yang meminta maaf
(8)    Nabi Saw adalah orang yang banyak senyum, kadang-kadang tertawa, tetapi tidak berlebihan.
(9)    Nabi juga suka bercanda, seperti manusia lain, tetapi ia tak pernah berbohong
(10)           Manakala Nabi belanja di pasar, ia membawa barang-barangnya dengan tangannya sendiri. Bila seorang hamba sahaya ingin menggantikannya, Nabi mengatakan : “Ana Awla bi Hamliha” (akulah yang lebih pantas membawanya).
(11)           Baju yang dipakai Nabi terbuat dari bahan berkualitas sederhana
(12)           Nabi tidak pernah mencaci siapapun, tidak berkata-kata kasar dan tidak pula berkata-kata kotor.
(13)            Nabi tidak pernah merendahkan dan memukul perempuan, isteri dan pembantunya.
(14)           Bila ada orang yang mencaci-maki orang lain, Nabi mengatakan: “tolong tinggalkan cara seperti itu”.
(15)            Bila ada orang berbicara dengan suara tinggi, Nabi menahan diri dan sabar.
(16)            Bila datang kepada hamba-sahayanya, laki-laki atau perempuan, Nabi mengajaknya berdiri dan membantu keperluannya. Dia memanggil mereka : “sahabatku” atau “anak mudaku”.
(17)            Nabi tidak pernah membalas keburukan orang lain dengan keburukan serupa, melainkan memaafkannya dan mengulurkan tangannya.
(18)            Bila bertemu orang, Nabi mengawali mengucapkan salam, ucapan damai,dan bila orang menyampaikan salam, Nabi membalasnya dengan cara yang lebih baik.
(19)           Bila bertemu temannya, Nabi mengawali mengulurkan tangannya dan membiarkannya sampai si teman melepaskannya.
(20)            Nabi selalu berzikir (mengingat Allah) baik ketika berdiri maupun ketika duduk.
(21)            Bila ada orang yang duduk menunggunya ketika sedang shalat, Nabi mempersingkat shalatnya lalu menemuinya sambil mengatakan: apakah ada yang bisa aku bantu?.
(22)           Ketika mendengar cucunya menangis, Nabi menyegerakan shalatnya, lalu menemui dan menggendongnya.
(23)           Manakala Nabi masuk dalam suatu majlis, beliau duduk di tempat mana saja yang kosong yang dilihatnya pertama kali.
(24)            Nabi mencuci pakaiannya sendiri, menambalnya, memperbaiki alas kakinya, melayani dirinya sendiri,
(25)           Nabi memberi makan ternaknya, menggiling gandum dengan tangannya sendiri,
(26)           Nabi sering makan bersama pelayan, memasak bersamanya dan membawa barang-barangnya sendiri ke pasar”.
(27)            Nabi menikmati makanan yang dimasak keluarganya dan tak sekalipun mengatakan “aku tidak suka makanan atau masakan ini”.
(28)           ”Seorang hamba sahaya perempuan Madinah memegang tangan Nabi. Ketika itu Nabi mengatakan ; “Apakah ada yang bisa aku bantu, wahai ibu si Fulan?. Aku akan membantu dan mengantarkanmu ke mana kamu mau. Nabi lalu mengantarkannya”.
(29)            Meskipun Nabi seorang pemimpin besar, rumahnya tak dijaga oleh siapapun.
(30)            Dalam perang Nabi berdiri di depan tanpa pengawal yang melindunginya”.
(31)            Nabi, selalu memperhatikan seorang nenek yang tiap hari datang ke masjid untuk membersihkan latarnya. Ketika suatu hari tak melihatnya lagi, Nabi bertanya kepada sahabat-sahabatnya: “di mana nenek itu?”. Manakala mereka memberitahukan kematiannya, Nabi meminta mereka mengantarkan ke kuburannya, lalu ia berdo’a untuknya.
(32)            Nabi makan sekadar menutupi rasa lapar, tak sampai kenyang
(33)           Nabi amat gemar berpuasa dan shalat malam
(34)           Nabi tidak menuruti hasrat kemewahan dalam pakaian dan tak mengikuti pikiran sempit.
(35)            Pakaian Nabi seperti  yang dikenakan masyarakat umum. Kebersahajaan Nabi dalam berpakaian dilatari oleh sikapnya yang tidak mempedulikan perbedaan dalam hal-hal yang remeh-temeh.
(36)           Dalam urusan pribadinya, Nabi bersikap adil.
(37)            Nabi memperlakukan orang dekat dan orang asing, orang kaya dan orang miskin, orang kuat dan orang lemah, dengan cara yang adil.
(38)            Nabi dicintai oleh rakyat biasa, karena dia menerima mereka dengan kebaikan hati dan mendengarkan dengan setia keluh-kesah mereka.
(39)            Kesuksesan Nabi dalam perang bukanlah kemenangan yang sia-sia dan sama sekali tidak membuatnya berbangga diri, karena tujuan semua itu bukanlah untuk kepentingan pribadinya.
(40)            Ketika Nabi memiliki kekuasaan yang amat besar, Nabi tetap saja sederhana dan rendah hati dalam sikap dan penampilannya, sama seperti ketika Nabi tak punya.
(41)            Meskipun pemimpin besar Nabi sangat berbeda dengan seorang raja
(42)            Bila bila memasuki ruangan, Nabi tidak suka orang menunjukkan penghormatan yang berlebihan kepadanya
(43)           Kepada orang yang ingin mencarinya, Nabi mengatakan: carilah aku ditengah-tengah orang yang tak beruntung
(44)           Tempat tidur Nabi hanyalah tikar kasar. Kepada sahabat yang ingin memberinya karpet empuk, Nabi mengatakan : “Aku di sini hanya singgah sementara, lalu pergi lagi.
(45)           Manakala seorang sahabat menghardik orang kampung lugu yang buang air kecil di sekitar masjid, Nabi : “Biarkan dia menuntaskan keperluannya, lalu siramlah air kencingnya”.
(46)           Ketika di Thaif Nabi dilempari batu dan dahinya berdarah, ia tidak marah. Nabi hanya bilang : “Semoga Allah memberi mereka petunjuk. Mereka tidak mengerti”.
(47)           Manakala memasuki kota Makkah dengan kemenangan, kepada orang-orang yang pernah melukainya, Nabi dengan sikap rendah hati mengatakan : “Kalian bebas. Silakan pergi ke mana kalian suka”. Nabi tak pernah memiliki rasa dendam.
(48)           Saat Mi’raj, di puncak langit, usai menghadap Tuhan ia mohon pamit kembali ke bumi. Nabi selalu ingat ummatnya.
(49)                 Ditanya siapa yang paling utama mendapatkan penghormatan, ayah atau ibu?. Nabi menjawab : “ibumu” sampai tiga kali, dan “ayahmu”.
(50)           Nabi mempercepat shalatnya manakala mendengar bocah menangis. Nabi mengkhawatirkan kesusahan hati ibunya.
(51)           Nabi menggendong cucunya ketika shalat, dan sujud lama-lama. Ia tak ingin mengecewakan sang cucu yang duduk di atas punggungnya.
(52)           Setiap kali bertemu anak yatim, Nabi selalu mengusap lembut kepalanya, dengan penuh kasih.
(53)           Manakala sahabatnya menanyakan: “mengapa engkau masih saja rajin shalat malam, sampai kakimu terlihat bengkak, padahal Tuhan telah menjadikanmu kekasih dan dosamu telah diampuni, Nabi dengan singkat menjawab : “tidak patutkah bila aku bersyukur kepada-Nya?”.
(54)           Nabi sedikit bicara. Ia lebih banyak mendengar, dan manakala orang lain sedang mengajaknya bicara, ia menghadapkan seluruh wajah dan tubuhnya dan mendengarkannya dengan seksama.
(55)           Jika diminta memilih dua hal, Nabi memilih yang lebih mudah  dan lebih ringan (yakhtaar aysarahuma).