PENYAIR PEREMPUAN
PESANTREN
(Bag. 1)
Setumpuk Surat Cinta Nyai
Masriah*
Oleh : Husein Muhammad
Uhibbuka Hubbain
Hubba al Hawa wa Hubban li Annaka
Ahlun li Dzaka
Fa Amma al Ladzi huwa Hubb al Hawa
Fa Syughli bi Dzikrika 'Amman Siwaka
Wa Amma al ladzi Huwa Ahlun Lahu
Fa Kasyfuka li al Hujba Hatta Araka
Fa la al Hamd fi Dza wa Dazaka Li
Wa Lakin Laka al Hamd fi Dza wa Dzaka
Aku menyintai-Mu, sungguh
Lantaran hasrat rindu kasmaran
Dan lantaran hanya Engkau saja
Satu-satunya Yang patut Dicinta
Aku tiada pernah henti
Menyebut nama-Mu
Aku emoh yang lain
Aku menjemba pada-Mu
Singkapkan tirai Wajah-Mu
Biar aku bisa menatapmu seluruh
Aku tak minta dipuji karena cinta
ini dan itu
Pujian untuk cinta ini dan itu
hanya milik-Mu
Bait-bait di atas adalah lantunan
melankoli Ummi Kultsum, maha bintang dari Timur (al Kaukab al Syarq)
yang legendaris itu. Bait-bait itu dikutip dari desah sendu Rabi'ah Adawiyah
(w. 185 H/801 M), sang sufi perempuan fenomenal dari Baghdad. Namanya selalu
disebut-sebut dalam sejarah mistisisme Islam sebagai pelopor sufi Cinta Tuhan (raidah
al isyq al ilahi). Dia mahaguru bagi beribu sufi besar lain. Rabi'ah adalah
anak perempuan ke empat dari keluarga teramat faqir. Menjelang kelahirannya,
semua pintu yang diketuk ayahnya menolak memberi minyak kelapa untuk pusar sang
jabang bayi Rabi'ah. Rabi'ah kecil dan muda adalah perempuan cantik dengan
sejuta nestapa. Derita demi derita terus menerpa dan menerjang. Dan dia tabah.
Di kamarnya yang pengap nan gelap Rabi'ah sujud berlama-lama. Dan cahaya
tiba-tiba berpendar mengisi ruang sujud Rabi'ah. Wajah Rabi'ah sumringah. Dia
terbakar api cinta. Rabi'ah kasmaran.
Mari ke kamarku, Kekasih, sebentar saja
Gelorakan jiwa kita, Kekasih, sebentar saja
Duhai malam, berpanjanglah
Duhai sarat kantuk, menghilanglah
Biar kita bisa bercinta dan terbakar
Begitulah kira-kira Rab'iah
bersenandung dalam sepi malam yang kudus. Rabi'ah selalu merindukan malam
datang. Dan bila malam tiba, dia merengek-rengek minta jangan pergi. Manakala
matahari merekah, dia menangis tersedu-sedu. Aduhai dukaku!
·
Prolog untuk Buku “Setumpuk Surat Cinta”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar