Cintailah Tuhan,
Niscaya Segalanya
Jadi Indah
Mengagumkan.
Dalam rentang waktu yang tidak panjang, dia hadir dengan tiga buku, termasuk
buku ini. Ini sebuah prestasi yang amat jarang lahir dari dalam tradisi seorang
Nyai yang mengasuh ratusan santri dengan setumpuk beban tanggungjawab. Dua yang
pertama : “Ketika Aku Gila Cinta” dan “Setumpuk Surat Cinta”. Keduanya
merupakan karya antologis, yang menyenandungkan puisi-puisi cinta penuh gairah,
rindu dendam dan ratapan-ratapan yang menghempaskan. Melalui puisi-puisi itu
dia ingin mengekspresikan esensi nurani yang tak tertahankan. Meski diungkap
dengan bahasa yang terang benderang, para pembaca puisi-puisinya tetap tak akan
pernah bisa memaknainya seperti yang dimaknai penulisya. Bahasa, apalagi puisi,
selalu mengandung ambiguitas makna. Pembaca juga tak tahu bagaimana gelora
nurani itu kemudian mengalir begitu deras dan bergemuruh. Bahasa spiritual
adalah sebuah misteri.
Kini
Masriyah Amva hadir dengan bukunya yang ketiga. Berbeda dengan dua bukunya yang
pertama, Nyai Masriyah melalui buku ini tampaknya sudah tak tahan lagi untuk
segera bisa menghamparkan perjalanan spiritualitasnya ke hadapan pembaca dengan
gaya prosaik, meski tidak melulu. Dia mengingat seluruh dan penuh hari-hari
yang ditapakinya pada momen-momen penting kehidupannya; ketika kecil, ketika nyantri
di pesantren, ketika perkawinannya yang pertama, ketika mendampingi suaminya
menjelang ajal, hingga keberadaanya sekarang. Dia mencatat dalam memori hatinya
setiap momen murung yang mendekap dan setiap ektase yang meluap. Boleh jadi
buku ini sengaja ditulis untuk menjawab pertanyaan sejumlah orang yang sudah
membaca dua bukunya yang pertama. Apakah dan bagaimanakah gerangan Masriyah
yang lembut dan sering termangu dalam diam, sampai mampu menulis puisi-puisi
cinta Tuhan yang begitu menukik ke relung-relung sanubari?. Dia agaknya ingin
menghadirkan sunyi-luka-kangen itu ke ruang terbuka dengan telanjang, polos dan
membiarkan segalanya tumpahruah di hadapan publik. Meski perjalanan hidup
seperti yang dialami Nyai Masriyah sangat mungkin terjadi pada tidak sedikit
orang, tetapi sungguh mengagumkan bahwa dia mampu menumpahkan pengalamannya itu
tanpa beban, bahkan dengan penuh kegembiraan.
Nyai
(sebutan untuk pengasuh pesantren perempuan) yang satu ini adalah sosok yang
acap dipagut kesunyian dan kemurungan yang sering, tetapi dalam waktu yang sama
dia adalah pribadi dengan kekuatan penuh untuk tetap ingin hadir sebagai sebuah
eksistensi yang kokoh. Dia ingin tetap mewujud dalam ruang dan waktu yang terus
berjalan berkelok-kelok dan tetap berguna bagi orang lain, terutama santrinya.
Baginya tak ada jalan lain untuk eksis kecuali hidup dengan menghembuskan
nafas-nafas ketuhanan. Dan Tuhanpun kemudian terus menyeruak dan menyusup ke
urat-urat nadinya, hingga tak ada lagi ruang kosong tanpa Dia di dalamnya. Dari
seluruh bukunya Nyai Masriyah tampaknya hanya ingin berpesan kepada pembacanya:
“Cintailah Tuhan, niscaya segalanya akan menjadi indah, karena Dia adalah pusat
segala”.
Pesan ini
mengingatkan saya pada para mistikus besar dari semua agama. Mereka
menggumamkan nyanyi lirih Cinta ini. Cinta kepada Tuhan merupakan puncak
perjalanan spiritualitas para mistikus dari seluruh aliran dan agama. Cintalah
yang menyatukan seluruh. Cinta adalah jalan untuk membebaskan diri dari
ketakberdayaan manusia di hadapan realitas-realitas semesta yang tak bisa lagi
diajak bicara. Manusia adalah eksistensi yang berkomunikasi. Ia tidak mungkin
hidup tanpa bicara dengan yang lain. Ketika segala komunikasi mampat, tak ada
jalan, dan ketika bicara dengan yang lain tak ada lagi akrab dan tak lagi
manis, maka Tuhan adalah satu-satunya Eksistensi yang selalu mengulum senyum
dan menyapa begitu lembut. Maka dua eksistensi yang rindu bertemu dan
kebahagiaanpun tumpah meruah. Pada setiap momen kehidupan di alam semesta,
Tuhan sesungguhnya adalah Realitas yang selalu hadir, menyingkapkan
misteri-misteri, al asrar, kenihilan-kenihilan, nuansa-nuansa sekaligus
menawarkan kemungkinan-kemungkinan yang sama sekali lain, di hadapan jiwa yang
merana, yang mendamba, yang takjub dan yang tak paham.
Jika
sudah begini, saya selalu ingat Rumi (Jalaluddin). Dia adalah mistikus muslim
terbesar sepanjang sejarah. Berpuluh dan beribu bait nyanyian rindu dan
sedu-sedannya kepada Sang Realitas Abadi telah ditulis Rumi. Dengan nuraninya
yang bening yang merindu dia mengurai begitu panjang kehidupan semesta yang
sesungguhnya, menurutnya, adalah keindahan semata. Rumi menemukan, semua yang
maujud adalah karena Dia Menyinta dan Dicinta. Rumi bergumam :
Adalah
cinta yang membuatnya terbang pulang
Menyobek,
pada setiap saat, seratus tirai penghalang
Rumi
mengagumi matahari. Baginya ia adalah simbol Ketuhanan di mana segala sesuatu
bagaikan partikel-partikel debu bagai “dzarrah” yang berpendar dan beredar mengelilingi
sebuah Titik. Dan titik itu adalah Tuhan, Realitas Eksistensial yang abadi dan
yang “tan kinaya apa”. Dialah Sang Kekasih Sejati. Ketika bertemu, Rumi
menari-nari girang sambil bersenandung :
Sang
Kekasih memancarkan cahaya bak matahari
Para pecinta
beredar mengelilinginya laksana atom
Saat
angin musim semi cinta mulai berhembus,
Setiap
ranting-ranting belum kering turut matahari
Tarian
spritual cinta yang meliuk-liuk dalam kegirangan yang meluap-luap seperti
tarian Darwisy nya Rumi itu tentu tidak mudah ditatap dengan nalar rasional.
Nalar tak mungkin sanggup menembus relung-relung yang terdalam dan bergejolak.
Pencarian nalar akan berakhir dengan kekandasan, nihil dan boleh jadi kegilaan.
Dunia spiritual adalah sebuah pengalaman yang amat sangat personal dan
misterius. Maka jalan yang mungkin adalah melompat ke dunia lain, dunia rasa,
ruang imaginasi, ruang intuisi dan ruang khayal untuk menembus Yang Tak
Terbatas dan Yang Taktepermanai, tempat segala misteri irasional tersingkap.
Begitulah,
Nyai Masriyah Amva telah berada dalam dunia spiritual seperti itu berhari-hari
dan bertahun-tahun, manakala segala nalar kandas, tak bisa menembus. Dan dia
menampakkan dirinya sebagai pribadi yang kokoh, paling tidak sampai hari ini.
Nyai, perjalananmu masih panjang. Dunia terus bergerak dalam siklus yang tetap;
kemurungan, kegembiraan dan musim-musim akan terus berganti. Teruslah mencipta.
Saya berharap ekspresi sipritualmu akan terus mengembang, merekah dan semerbak.
Bila suatu saat kelak, engkau umrah, teruslah berjalan ke Konya, Turki.
Ziarahlah ke rumah Rumi. Engkau akan menjumpai, di sana, sang pecinta agung.
Rumi, seperti kita nantinya, pada akhirnya memang harus berhenti pada satu
titik untuk tak kembali, bernama Tuhan, Sang Kekasih Abadi. Selamat untuk Nyai
Masriyah Amva.
Cirebon,
07 Juli 2008
Husein
Muhammad
Pengantar
untuk Buku karya masriyah Amva, 2008,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar