PATRIARKHISME DALAM SASTRA ARAB
MEMBACA BUKU FREE
HEARTY
Saya sungguh memperoleh penghormatan besar dari
sahabat baik saya Free Hearty, karena diberi kesempatan untuk menulis pengantar atas
bukunya yang berjudul “Sastra Timur Tengah: Tinjauan dari Perspektif Gender”.
Karya ini sungguh-sungguh mengagumkan. Analisis gender melalui karya sastra
sungguh tidak banyak ditemukan dalam diskusi-diskusi mengenai isu ini. Free
adalah orang Indonesia yang memberikan perhatian demikian serius terhadap
isu-isu ini dari kacamata sastra melalui tiga karya sastra dari tokoh terkenal
di Timur Tengah; “Women at Point Zero” Nawal El-Saadawi, “The Beginning and The End”, Naguib Mahfouzd,
dan A Wife for My Son”.
Saya telah membaca karya Nawal itu
sekitar sepuluh tahun yang lalu, melalui terjemahan Indonesia: “Perempuan di Titik
Nol”, terbitan Yayasan Obor. Novel ini telah menggugah kesadaran saya tentang
realitas perempuan di negeri tempat saya pernah bermukim singkat. Beberapa tahun
kemudian saya juga memberikan tanggapan atas tulisan-tulisan Nawal yang
dihimpun dalam buku berjudul “Pergolakan Pemikiran dan Politik Perempuan:
Esai-Esai Nawal El-Saadawi”, ketika ia dilaunching Kalyanamitra,
penerbitnya beberapa tahun lalu. Demikian juga Novel karya Naguib Mahfoudz,
sastrawan terkemuka Mesir dan peraih nobel Sastra: “Al-Bidayah wa
al-Nihayah”(Awal dan Akhir), dan beberapa novelnya yang lain dalam bahasa
Arab. Nah, Ali Ghalim, yang menurut informasi Free
adalah seorang sutradara film dari Aljazair, sungguh saya belum mengenalnya.
Membaca tiga novel ini, tampak jelas
bagi siapa saja bahwa patriarkhisme telah
melanda berbagai wilayah di dunia Arab.
System ini telah menancap
demikian kuat dalam kultur di sana
berabad-abad. Para penulis melalui tokoh-tokoh sentral atau pemain
utamanya mengungkapkan kisah-kisah menyedihkan yang dialami perempuan, tak
peduli apakah anaknya, isterinya, keluarganya sendiri maupun perempuan-perempuan
lainnya. Diskriminasi, marginalisasi,
subordinasi, stereotype dan beban ganda telah menjadi banal. Keadaan ini secara
tak terelakkan kemudian melahirkan berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Tiga penulis di atas mengakui bahwa
realitas patriarkhisme dan diskriminasi terhadap perempuan tersebut
sungguh-sungguh melanggar hak-hak alamiyah manusia atau dengan kata lain
menghancurkan hak-hak kemanusiaan. Ketiganya melakukan kritik tajam dan keras
terhadap realitas ini dengan caranya masing-masing. Saya kira Nawal adalah feminis yang
sangat lantang dalam pemberontakannya atas hal ini, dengan menyalahkan
laki-laki. Nawal dengan seakan-akan sengaja membuka front terbuka melakukan perlawanan ini, termasuk terhadap
tokoh-tokoh yang menggunakan dan memanfaatkan teks-teks agama sebagai dasar
legitimasi patriarkhisme dan diskriminasi terhadap perempuan itu. Free
mengkritik cara Nawal dan dia menyimpulkan : “Pola perjuangan yang digunakan Sa’dawi dalam memaparkan kisah dalam teks
WAPZ, sama dengan pola perjuangan feminis radikal dan feminis gelombang kedua”. (Free, hlm. 9). Dan
terhadapnya Free tampaknya tidak terlalu setuju. Dalam sebuah percakapan saya
dengan Free, suatu hari,
dia mengatakan:”Nawal tidak konsisten”.
Ini berbeda dengan pendekatan yang digunakan
Naguib Mahfoudz. Dia tidak menyalahkan laki-laki sebagai penyebab
berlangsungnya kondisi tersebut. Bagi Mahfoudz, laki-laki boleh jadi salah ketika
dia melakukan kekerasan terhadap perempuan. Tetapi laki-laki juga boleh jadi
menjadi korban dari system itu. Dia mengkritik konstruksi social yang tidak
adil. Titik pijak Mahfoudz adalah system social-budaya dan pemikiran keagamaan
yang tidak adil dan tidak manusiawi. Mahfoudz memang tidak dikenal sebagai
laki-laki feminis. Namanya lebih
dikenal sebagai filosof-sastrawan yang secara terus menerus memperjuangkan
demokrasi, hak-hak asasi manusia dan keadilan social-politik-kebudayaan. Mahfoudz
tampaknya ingin mengkritisi system
politik yang dihadapi negaranya: Mesir. Free menulis dengan jelas : “Mahfoudz sama sekali tidak memunculkan
cerita tentang diskriminasi jender atau pemberontakan perempuan yang keluar
dari dominasi laki-laki atau meninggalkan peran tradisinya. Mahfoudz membicarakan hubungan kemanusiaan bagi manusia dari perspektif
Humanisme”(Free, hlm. 14).
Analisis Free terhadap Mahfoudz ini memberi kesan bahwa dia seakan-akan
tidak peduli dengan penderitaan perempuan.
Ali Ghalim. Saya memang tidak mengenal penulis ini dan
Free menyatakan bahwa dia juga tidak dikenal sebagai seorang sastrawan, tetapi
Free menganggap penting tokoh ini untuk
membandingkannya dengan dua penulis yang sudah disebut. Sesudah membaca buku
Free ini, saya punya kesan sepertinya dia punya sikap yang sedikit mirip dengan
Mahfoudz. Tetapi Free menganggap dia punya sikap ambigu. “Ghalim dengan halus
memunculkan nada penolakan terhadap gagasan feminism… Namun di sisi lain, ditemukan pula nada
simpati terhadap gerakan perempuan yang menginginkan perubahan”.(Free, hlm. 12)
Baik Mahfoudz maupun Ali Ghalim
sama-sama seakan-akan tidak menganggap begitu signifikan terhadap isu-isu
patriarkhisme ini, meskipun keduanya adalah aktivis kemanusiaan. Saya juga
telah lama punya kesan bahwa banyak aktivis demokrasi, pluralisme dan hak-hak
asasi manusia terlihat gamang, untuk tidak mengatakan inkonsisten, ketika sudah
bicara tentang kesetaraan dan keadilan gender. Patriarkhisme tampaknya memang
telah merasuki otak bawah sadar banyak orang sedemikian rupa sehingga mereka
kehilangan kepekaan atasnya. Perjuangan untuk menghapuskan system ini lalu
menjadi proyek panjang dan berpuluh abad.
Terlepas dari cara pendekatan yang
berbeda dari tiga penulis novel di atas dalam merespon patriarkhisme, tetapi
para penulis novel sepakat mengakui bahwa ada realitas ketidakadilan
berdasarkan gender yang harus diatasi. Melalui karya sastra masing-masing,
ketiganya bekerja dan berusaha mereduksi ketidakadilan itu, dengan caranya
sendiri-sendiri, sebagaimana sudah disebutkan.
Akan tetapi adalah sungguh menarik
bahwa aktifisme masyarakat, di Mesir, di Aljazair, maupun di bagian dunia
muslim lain, baik yang membenarkan, membiarkan, maupun yang menolak
diskriminasi atas hak-hak perempuan tersebut sama-sama mencari dukungan
legitimasi keagamaan melalui cara penafsirannya masing-masing atas teks-teks
keagamaan. Dalam masyarakat Timur Tengah di mana Islam adalah agama yang
dipeluk mayoritas warganya, maka sumber-sumber legitimasi adalah teks-teks suci
al-Qur’an, hadits Nabi dan produk-produk tafsir ulama atas kedua teks utama
tersebut. Dan tafsir-tafsir agama itu dalam perjalanan kebudayaan lalu berubah
menjadi agama itu sendiri. Ya, produk pikiran yang kontekstual itu kini menjadi
sebuah keyakinan yang seakan teramat sulit untuk digugat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar