KIYAI
SAHAL, ALIM PROGRESIF
DAN ARIF
Oleh : Husein
Muhammad
Kiyai Haji Muhammad Ahmad Sahal
Mahfuzh adalah satu di antara
sosok ulama (alim) terkemuka Indonesia zaman
ini yang memberikan apresiasi dan respon
positif terhadap gagasan fiqh kontekstual. Beliau termasuk ulama yang sangat
gelisah jika fiqh harus mengalami kondisi stagnan atau tidak mampu mengatasi
suatu masalah social, kebangsaan dan kemanusiaan. Sebab ini akan berarti agama
menjadi tidak berfungsi solutif atas permasalah manusia. Dengan kapasitas
ilmunya yang sangat luas dan mendalam beliau mengajak orang lain untuk bergerak
ke arah penyelesaian dan pemecahan masalah dan bukannya hanya semata-mata bisa
menjawab masalah, tanpa mempertimbangkan relevansi dan efektifitasnya. Sejumlah
tulisannya tentag fiqh seperti dalam bukunya yang terkenal “Fiqh Sosial”,
memperlihatkan dengan jelas bagaimana beliau mampu mengetengahkan kajian fiqh
dengan pendekatan kontekstual. Saya kira agak sulit bagi kita menemukan sosok
ulama pesantren atau kiyai yang mempunyai pikiran yang demikian maju dan boleh
jadi bisa disebut progresif. Lebih jauh, dari sekedar menjawab dengan fiqh,
Kiyai Sahal adalah seorang pemikir fiqh (ushuli), yakni ahli dalam metodologi
fiqh. Ini berkat keahliannya tentang kaedah-kaedah fiqh dan ushul fiqh
(teori-teori fiqh/hukum syari’ah). Bahkan sudah sejak lama Kiyai Sahal telah
menulis kaedah-kaedah fiqh dalam bahasa Arab yang sangat bagus, layaknya orang
Arab saja. Kumpulan pemikirannya yang dituangkan
dalam sejumlah buku yang ditulisnya, jelas memberikan kesan yang mendalam
betapa kentalnya kaedah fiqh dalam pemikiran beliau. Hampir setiap jawaban yang
disampaikan berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan masyarakat
awam, atau yang dilihat dalam kehidupan social, selalu diselipkan dasar-dasar
fiqhnya yang diambil dari karyanya “Al-Qawa’id al Fiqhiyyah al-Hajiniyyah”.
Tetapi hal yang
menarik dari Kiyai Sahal adalah bahwa beliau tetap berhati-hati untuk keluar
dari pemikiran fiqh dominan atau mainstream. Artinya, jika jawaban yang diberikan
cukup memberikan pemahaman melalui pendekatan qauli, tekstual, dari mazhab
Syafi’i, maka beliau tidak perlu mencari jawaban dari mazhab lain. Pandangan
fiqh mazhab lain baru disampaikan sebagai alternatif jika lebih berpeluang
untuk diamalkan oleh yang bersangkutan. Dengan begitu, Kiyai Sahal tetap ingin
berada dan menyantuni tradisinya, baik dalam
kaitannya dengan fiqh qauli maupun fiqh manhaji. Ini tentu saja
mengantarkan beliau sebagai ahli fiqh yang moderat dan tidak terbawa oleh arus
“liberal” seperti pikiran murid-muridnya,
antara lain Ulil Abshar Abdallah atau anak muda NU lain yang berpikiran maju. Meski
tidak sejalan, tetapi Kiyai Sahal adalah ulama yang arif dalam menyikapi
pikiran-pikiran anak-anak muda NU yang memiliki kecenderungan berpikir
“liberal” tersebut. Beliau alih-alih mengkafirkan atau memberi label
sesat atasnya, malahan mengajaknya
untuk berdiskusi dengan baik.
Buku saja “Fiqh Perempuan: Refleksi Kiyai atas Wacana Islam dan Gender”, bahkan
diapresiasi dengan sangat mengesankan. Sikap dan cara pandang ini
sesungguhnya, dalam pandangan saya juga menjadi karakter ulama NU lainnya. Ini
berbeda dengan sikap kelompok lain yang mudah melabel sesat, mengkafirkan dan memurtadkan orang
yang berbeda pandangan dengan mainstream. Sikap seperti Kiyai Sahal itu, dalam
pandangan saya, memperlihatkan kedalaman dan keluasan ilmu seseorang sekaligus
tanda kearifannya.
Hal lain yang paling menarik dari
pemikiran Kiyai Sahal tentu saja adalah pandangannya tentang fiqh sebagai
kumpulan pikiran ulama yang sejatinya dibuat untuk menciptakan moralitas
kemanusiaan. Kiyai Sahal menyebutnya “Fiqh
sebagai Etika Sosial”. Inilah pikiran brilian Kiyai Sahal yang membuatnya
pantas memperoleh penghargaan akademis bergengsi : Doktor, dari UIN Jakarta,
meski ia tak pernah menulisnya, manakala diminta mengisi CV untuk keperluan seminar atau yang lain. Usai
orasi doktoralnya, Gus Dur segera memberikan apresiasi kepadanya atas tesis
pamannya itu. Gus Dur menghendaki paradigm ini diikuti para ulama lain. Sayang sekali,
tidak banyak orang yang bisa memahami paradigma yang ditawarkan Kiyai Sahal
ini.
Selamat Jalan Kiyai Sahal. “Ya
Ayyatuhannafs al-Muthminnah Irji’i Ila Rabbiki Radhiyah Mardhiyyah Fa Udkhuli
fi ‘Ibadi wa Udkhuli Jannati”.
Stasiun
Gambir, 240114
Berasal
dari tulisan untuk Epilog buku : “Wajah Baru Fiqh Pesantren”, ed. Aziz Hakim
Saeroziy, Citra Pustaka, Jakarta, 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar