Minggu, 29 September 2013

TEMANI MEREKA YANG HATINYA LUKA



“Abu Hurairah berkata bahwa Nabi saw pernah bersabda:
“Pada hari kiamat kelak, Allah, mengatakan : ‘Wahai anak Adam, Aku sakit tetapi kamu tidak menjenguk-Ku”. Hamba bertanya: “Bagaimana aku harus menjenguk-Mu, sedangkan Engkau adalah Tuhan bagi alam semesta?”. Allah menjawab: “Apakah kamu tidak tahu bahwa hamba-Ku si Fulan sedang sakit, tetapi kamu tidak menjenguknya. Seandainya kamu menjenguknya pasti kamu temui Aku di sisinya”.
Allah bertanya lagi: “Hai anak Adam, Aku lapar, tetapi kamu tidak beri Aku makan”. Hamba menjawab: “Wahai Tuhan, bagaimana aku memberi-Mu makan, padahal Engkau adalah Tuhan alam semesta?”. Dia mengatakan: “Apakah kamu tidak tahu bahwa hamba-Ku si Fulan minta makan kepadamu, tetapi kamu tidak berikan dia makan? Seandainya kamu beri makan si Fulan, niscaya kamu dapati Aku berada di sisinya”.
Allah bertanya lagi: “Hai anak Adam, Aku minta minum kepadamu, tapi kamu tidak beri Aku minum”. Hamba menjawab: “Bagaimana aku memberi-Mu minum, sedangkan Engkau Tuhan bagi alam semesta?”. Allah mengatakan: “Hamba-Ku si Fulan meminta minum kepadamu tapi kamu tidak memberinya minum. Seandainya kamu memberinya minum, niscaya kamu akan mendapati dan menemui Aku di sisinya”. (Hadits Qudsi, Shahih Muslim).
Cirebon, 290913
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ :
يَا ابْنَ آدَمَ مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِى. قَالَ يَا رَبِّ كَيْفَ أَعُودُكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ. قَالَ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ عَبْدِى فُلاَنًا مَرِضَ فَلَمْ تَعُدْهُ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ عُدْتَهُ لَوَجَدْتَنِى عِنْدَهُ.
يَا ابْنَ آدَمَ اسْتَطْعَمْتُكَ فَلَمْ تُطْعِمْنِى. قَالَ يَا رَبِّ وَكَيْفَ أُطْعِمُكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ. قَالَ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّهُ اسْتَطْعَمَكَ عَبْدِى فُلاَنٌ فَلَمْ تُطْعِمْهُ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ أَطْعَمْتَهُ لَوَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِى.
يَا ابْنَ آدَمَ اسْتَسْقَيْتُكَ فَلَمْ تَسْقِنِى. قَالَ يَا رَبِّ كَيْفَ أَسْقِيكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ قَالَ اسْتَسْقَاكَ عَبْدِى فُلاَنٌ فَلَمْ تَسْقِهِ أَمَا إِنَّكَ لَوْ سَقَيْتَهُ وَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِى ». صحيح مسلم

Jumat, 27 September 2013

GUS DUR : SANG IKON (Bagian Ketiga)



Tafsir Gus Dur atas Lima Hak Dasar Kemanusiaan

Manusia dan kemanusiaan adalah focus pikiran dan perhatian utama Gus Dur, berhari-hari, siang dan malam dan pada setiap nafas yang berhembus. Ia mencintai manusia. Ia bekerja keras menerjemahkan nilai-nilai kemanusiaan ini baik melalui tulisan-tulisannya, ceramah-ceramahnya maupun dalam sikap hidupnya sehari-hari. Ia acap kali menyampaikan bahwa manusia apapun latarbelakangnya wajib dilindungi hak-hak dasarnya. Dan untuk hal ini ia sering paling tidak menyebut “Al-Kuliyyat al-Khams” (lima hak dasar manusia). Hak-hak dasar perlindungan ini diambil Gus Dur dari teori Ushul Fiqh (Dasar-dasar hukum) yang ditemukannya dalam kitab klasik Pesantren, antara lain : Al-Mustashfa min Ilm al-Ushul, karya Imam al-Ghazali (w. 1111). Lima Prinsip Kemanusiaan Universal itu ialah Hifzh al-Din (hak beragama/berkeyakinan), Hifzh al-Nafs (hak hidup), Hifzh al-Aql (hak berpikir dan mengekspresikannya), Hifz al-Irdh wa al-Nasl (hak atas kehormatan tubuh dan kesehatan reproduksi), dan hifzh al-Mal  (hak kepemilikan atas harta/benda).
Adalah menarik bahwa interpretasi Gus Dur atas lima prinsip di atas tak selalu sama dengan interpretasi konvensional sebagaimana yang kita baca dalam kitab-kitab klasik. Jika  interpretasi konvensional masih memperlihatkan makna eksklusivitasnya, Gus Dur justeru memaknainya secara lebih luas, inklusif dan kontekstual. Ia tak selalu patuh pada tafsir-tafsir konvensional-konservatif,  meski tetap menghargai dan mengapresiasi sebagian pikiran-pikirannya. Dalam tafsir-tafsir konvensional, hak perlindungan atas agama/keyakinan (Hifzh al-Din), misalnya, memiliki konsekuensi kewajiban Jihad, larangan murtad (pindah agama) dan Bid’ah. Jihad dalam terma konvensional hampir selalu dimaknai perang militeristik dengan seluruh agresifitasnya. Gus Dur justeru memaknainya dengan sebaliknya. Untuk tema ini  memperjuangkan system social anti kekerasan dan penghapusan hukuman mati untuk katagori pelanggaran apapun. Gus Dur memperjuangkan kebebasan beragama dan berkeyakinan serta menghargai dengan penuh minat atas inovasi-inovasi dan kreatifitas kebudayaan manusia yang beragam dan berwarna-warni. Komitmen Gus Dur untuk hal ini ditunjukkan, antara lain dengan keputusannya yang memukau untuk memberikan hak hidup bagi agama Kong Hu Cu. Ia juga tidak memaknai Jihad sebagai perang militeristik, melainkan sebuah perjuangan dalam maknanya yang luas. Keberaniannya mengusulkan pencabutan TAP MPRS XXV tahun 1966, misalnya, jelas menunjukkan atas perjuangan visi tersebut. Meski usulan ini mengundang kontroversi hebat di tengah-tengah masyarakat dan Gus Dur dituduh sebagai orang yang hendak menghidupkan komunisme yang ateis, tetapi ia tetap teguh dengan pendiriannya. Gagasannya yang paling spektatuler adalah soal “Pribumisasi Islam” dan bukannya “Islamisasi Pribumi”. Dalam wacana konvensional tentang Hifzh al-Nafs” (hak hidup/life right), diinterpretasikan antara lain sebagai kewajiban Qisas (hukuman yang sama), sementara Gus Dur justeru menentang hukuman mati. Tentang “hifzh al-‘Aql”, (perlindungan atas akal) dimaknai secara konvensional memiliki konsekuensi larangan mengkonsumsi minuman keras dan hal-hal yang memabukkan lainnya serta segala yang merusak akal (al-Mukhaddarat), Gus Dur justeru menerjemahkannya lebih jauh dari itu dan lebih mendasar. Ia memaknainya sebagai hak atas kebebasan berpikir, berpendapat, berekspresi, berorganisasi dan sebagainya. Gus Dur juga satu-satunya orang yang membela Tabloid Monitor ketika dibredel Pemerintah, gara-gara tulisan Arswendo Atmowiloto yang dianggap banyak orang menghina Nabi Muhammad. Bagi Gus Dur Negara tidak berhak ikut campur dalam pilihan-pilihan masyarakat atas suatu ideology atau pikiran/pendapat. Hal yang sama juga terjadi pada kasus Salman Rushdie yang menulis buku paling controversial : “The Satanic Verses” (Ayat-ayat Setan). Baginya buku ini adalah sebuah buku novel yang bagus, meski dari segi isi dia tak setuju. Salman Rushdie memang konyol. Tetapi Gus Dur ingin mengajak orang untuk membaca karya sastra ini dengan jernih. “Mari kita lihat lebih lapang. Ini sebuah novel, karya sastra yang harus dipahami secara sendiri. Membaca novel tidak sama dengan membaca statement. Soal isinya yang menghina Nabi, saya sendiri juga tidak setuju,” ungkap Gus Dur. Dengan cara itulah seharusnya kita melihat novel itu. Saya tidak percaya ada orang menjadi murtad haya karena membaca buku Satanic Verses. Gus Dur memang keberatan bila hanya karena soal ini sebuah buku dan setiap karya intelektual harus dilarang oleh Negara.
Ketika masih  banyak ulama menerjemahkan “Hifzh al-Nasl” (perlindungan atas keturunan) sekedar anjuran menikah, berketurunan, melarang perzinahan dan proteksi ketat atas tingkah-laku perempuan serta ketabuan atas hak-hak seksualitas mereka, Gus Dur memaknainya secara lebih luas dan mendalam. Hifzh al-Nasl baginya bermakna perlindungan atas hak-hak seksualitas dan atas kesehatan reproduksi. Ia menerima dengan tangan terbuka orang semacam Dorce yang harus berganti kelamin dan Inul Daratista yang lihai menggoyang-goyangkan bagian tubuhnya. Ia juga bersedia menjadi penasehat kelompok dengan orientasi seksual yang tak lazim, tak umum, tidak mainstream.
Melalui interpretasi-interpretasi Gus Dur yang genuine, orisinal dan kontekstual sebagaimana contoh di atas tampak sekali bagaimana dan betapa komitmennya dia dalam memperjuangkan terwujudnya penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Bagi Gus Dur prinsip-prinsip kemanusiaan universal atau hak-hak asasi manusia tersebut sejalan dengan dan tidak lain adalah visi agama-agama, terutama Islam. Dari basis pikiran-pikiran ini, lalu mengalirlah gagasan-gagasan Gus Dur yang lain : Pluralisme, Toleransi, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan tema-tema kemanusiaan lainnya. Oleh karena itu Pancasila dan Konstitusi Negara Republik Indonesia yang di dalamnya mengandung semua isme dalam pandangannya adalah kompetable dengan Islam.      
Gus Dur tak henti-hentinya mengerahkan tenaga dan pikirannya memperjuangkan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan universal ini dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Perjuangan itu dilakukannya dengan setulus hati. Baginya nilai-nilai tersebut  adalah akar bagi sebuah bangunan masyarakat yang adil dan sejahtera. Dan pada akhirnya ia merupakan komitmen yang nyata bagi penegakan prinsip fundamental Islam: Tauhid, Ke-Esa-an Tuhan. Dengan begitu, Gus Dur adalah seorang Muwahhid-Mukhlish (seorang yang mengesakan Tuhan dengan setulus-tulusnya). Jika sufi, martir-legendaris, al-Hallaj berteriak: ”Akulah Kebenaran”, maka Gus Dur mungkin bilang; “Akulah Kemanusiaan”. Ya, Gus Dur adalah sang pencinta manusia sebagai manusia dengan seluruh makna kemanusiaannya.    
Hari ini dan seterusnya, ketika relasi antar manusia di negeri ini sedang memasuki sirkuit kemelut dan bagai benang kusut, kita sungguh-sungguh sangat membutuhkan lahirnya orang-orang dan pemimpin-pemimpin seperti Gus Dur. Meski ia harus menanggung duka lara karena pikiran dan aksi-aksinya yang mengundang kecemasan, kegeraman dan kebencian sebagian orang, atau bahkan sebagian besar orang di negerinya, ia tetap berjalan dengan tegap dan tenang disertai kewibawaan yang penuh dan kharismanya yang menggetarkan. Mereka boleh saja dan memang berhak untuk tidak setuju dengan eksistensi Gus Dur berikut segala pikiran dan tindakannya, namun sejarahlah yang akan mencatat dan menyampaikan kabarnya.
Cirebon, 270913

Rabu, 25 September 2013

GUS DUR SANG IKON (Bag. Kedua)



Gus Dur Memikirkan Manusia


Sebagaimana para sufi besar, Gus Dur adalah seorang yang selalu berkehendak hidupnya diabdikan sepenuhnya bagi manusia dan kemanusiaan. Ia tak memikirkan dirinya sendiri. Justeru Gus Dur sepertinya tak peduli terhadap dirinya sendiri dan keluarganya, meski dia tetap mencintai dan menyayangi mereka. Ia memiliki sumber inspirasi bagi gagasan ini sebagaimana para sufi memilikinya. Salah satunya adalah teks suci kenabian (hadits Qudsi):
كُنْتُ كَنْزاً مَخْفِيًّا فَأَحْبَبْتُ أَنْ أُعْرَفَ فَخَلَقْتُ الْخَلْقَ فَبِى عَرَفُوْنِى
“Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi. Aku rindu untuk dikenal. Maka aku ciptakan makhluk. Lalu berkat Aku mereka mengenal-Ku”.
Makhluk dalam hadits ini tidak lain adalah manusia. Hadits ini ingin menyatakan bahwa Tuhan menyintai manusia. Cinta Tuhan kepada manusia adalah untuk seluruh manusia di manapun ia berada dengan segala macam identitas primordial yang diciptakan-Nya sendiri. Meski manusia mendurhakai-Nya, Tuhan tetap saja memberi kegembiraan dan menganugerahinya segala yang diperlukan bagi hidupnya. Tuhan Maha Penyayang dan Maha Pengasih (Huwa Al-Rahman al-Rahim) kepada semua ciptaan-Nya, tak peduli siapa dia. Dia mengatakan :“Huwa Alladzi Khalaqa Lakum Ma fi al-Ardhi Jami’an” (Dialah Yang Menciptakan untuk kalian semua apa yang ada di bumi), kata Al-Qur’an. Maka dalam pikiran Gus Dur: mengapa manusia tidak menyintai sesamanya?. Mengapa ada manusia yang tidak mencintai saudaranya yang juga manusia, dalam kemanusiaan?. Manusia adalah juga makhluk Tuhan yang terhormat dan berharga. Dia sendiri menghormatinya dan menghargainya. Tak ciptaan-Nya yang dihormati-Nya seperti penghormatannya kepada manusia. Mengapa ada manusia tidak saling menghormati dan menghargai sesamanya, hanya karena identitas-identitasnya yang berbeda semata?. Dia mengunggulkannya dari ciptaan-Nya yang lain. Mengapa ada manusia yang merendahkan manusia lainnya?.
Manusialah, karena itu semua, yang kemudian memperoleh mandat-Nya untuk mengatur kehidupan manusia di muka bumi. Manusia adalah Khalifah Allah fi al-Ardh (mandataris Tuhan di muka bumi). Di atas landasan spiritualitas inilah Gus Dur berpikir, bergerak dan bertindak. Ia selalu saja ingin agar manusia dihargai dan dihormati sebagaimana Tuhan menghormatinya. Sebagai makhluk Tuhan, manusia adalah setara di hadapan-Nya. Maka identitas-identitas asal yang diciptakan Tuhan dan label-label yang dilekatkan masyarakat kepada manusia ; ras, warna kulit, jenis kelamin, asal-usul, agama/keyakinan atau kepercayaan (bila orang ingin membedakannya), tempat tinggal, kebangsaan dan lain-lain, telah hilang dari perhatian dan penilaiannya. Perhatian dan penilaian Tuhan ditujukan hanya pada tingkahlaku, hati nurani manusia dan kesetiaan mereka kepada Tuhan, serta penghargaan mereka pada sesamanya. Gus Dur selalu berharap agar manusia senantiasa bersikap rendah hati.
Cirebon, 250913

Selasa, 24 September 2013

GUS DUR, IKON PENCINTA MANUSIA*



(Bagian Kesatu)

Sulit untuk dapat disangkal bahwa Gus Dur adalah salah satu symbol dan ikon pembaruan dalam pemikiran dan kehidupan social dalam dunia muslim, khususnya di Indonesia. Tokoh pembaru lainnya adalah Cak Nur (Nurcholis Madjid). Hampir seluruh hidupnya diabdikan bagi kepentingan ini. Gus Dur hadir dengan pikiran dan gagasan yang sungguh-sungguh mengagumkan, mencerahkan sekaligus menggairahkan bagi upaya-upaya pembaruan ini. Sumber-sumber intelektualismenya sangat luas, mendalam dan terbuka. Gus Dur tidak hanya menguasai khazanah keilmuan Islam klasik yang menjadi basis pengetahuan awalnya, tetapi juga pengetahuan social, budaya, seni, sastra, politik dan agama-agama dunia. Pengetahuan Gus Dur melampaui sekat-sekat primordialisme. Ia membaca dengan lahap dan menyerap dengan riang pikiran-pikiran para tokoh dunia, klasik maupun modern, tanpa melihat asal usul dan keyakinan mereka. Gus Dur bukan hanya memahami semuanya itu dengan sangat baik tetapi juga  mengapresiasi dengan sepenuh hati.
Sebagai ikon, symbol atau kode, Gus Dur dimaknai secara beragam dan warna warni. Selalu ada yang mengagumi dan dalam waktu yang sama ada pula yang mengecamnya, tetapi ada juga yang diam, tak paham dan kebingungan. Ikon selalu menyimpan kebesaran, dan Gus Dur adalah tokoh besar dalam dunia Islam. Namanya dikenal di banyak tempat di dunia. Sebagian menempelkan namanya dalam karya arsitektur atau jalan raya. Seperti tokoh besar pada umumnya, pikiran dan gagasannya acap mengejutkan dan membingungkan banyak orang. Ia dianggap sering menyampaikan pikiran-pikiran yang kontroversial dan inkonsisten. Teramat banyak para pengkaji Gus Dur, apalagi masyarakat pada umumnya, terperangkap dalam kegalauan yang luar biasa untuk bisa menangkap dan memahami pikiran-pikiran, gagasan-gagasan dan langkah-langkahnya yang controversial itu. Kegalauan ini tampaknya bukan hanya karena Gus Dur memiliki pandangan yang beragam, berwarna dan berbeda-beda atas masalah yang sama. Inskonsistensinya juga bukan karena dia ingin memuaskan semua pihak dengan kualitas intelektual yang beragam dan bertingkat, meskipun mungkin saja demikian. Alih-alih dia punya hasrat ingin dikenal dan popular sebagaimana dikatakan dengan sinis oleh sebagian orang. “Khalif Tu’raf”, berbedalah, engkau pasti popular, kata mereka, kata yang pernah diarahkan kepada Cak Nur. Gus Dur yang controversial itu boleh jadi lebih karena dia sendiri mengalami pergulatan intelektual dalam dirinya tanpa bisa dihentikan. Pikirannya terus saja berjalan, menjelajah dan mengejar-ngejar setiap waktu dan dalam kadar yang sangat dinamis, sejalan dengan gerak kehidupan umat manusia. Pikirannya selalu ingin menjadi. Situasi-situasi ini menghadirkan kenyataan-kenyataan yang berubah dan berkembang. Atau mungkin juga karena Gus Dur, seolah tak sabar, ingin mempersembahkan pengetahuannya bagi perubahan social yang dikehendaki. Yakni sebuah wujud social yang adil dan sejahtera, sebelum masyarakat siap menerimanya. Tidaklah mengherankan jika, karena itu, tidak sedikit orang sering menyebut pikiran dan gagasan Gus Dur melampaui zamannya. Banyak orang tidak memahami jalan pikirannya ketika ia disampaikan. Tetapi dengan berjalannya waktu dan kehidupan makin cerdas, pikiran-pikiran itu baru dapat dipahami. Ini bagi saya memperlihatkan tanda seorang “hakim” (arif, bijak bestari), seorang sufi atau “wali’ sebagaimana 9 wali sanga dalam konteks Indonesia. Mengenai pelampauan atau lompatan pikirannya yang mendahului zamannya itu saya ingin mengutip syair seorang sufi besar yang nama dan pikirannya sering disebut Gus Dur, Ibnu Athaillah al-Sakandari :
تَسْبِقُ اَنْوَارُ الْحُكَمَاءِ أَقْوَالَهُمْ فَحَيْثُ صَارَ التَّنْوِيْرُ وَصَلَ التَّعْبِيْرُ
“Cahaya para bijak bestari mendahului kata-katanya. Ketika batin telah tercerahkan, kata-kata mereka sampai”.[1]
Inkonsistensi Gus Dur bagi saya adalah hanya pada isu-isu particular, dan ini adalah situasi yang wajar dan selalu dihadapi oleh siapa saja. Imam al-Ghazali, misalnya, pemikir,  teolog, ahli hukum dan sufi besar yang sering disalahpahami dan dianggap atau bahkan dikecam banyak orang sebagai tokoh paling inkonsisten. Dia mengkritik dan menyerang para filosof di satu sisi dan mengapresiasi logika Aristotelian pada sisi lain. Sekali lagi, hal ini terjadi karena selalu dia harus dalam situasi yang berubah-ubah, audien yang berbeda-berbeda dan hal-hal lain yang memaksanya untuk bicara dengan bijak. Akan tetapi dia sungguh-sungguh konsisten pada tujuannya, yaitu menghidupkan dunia kemanusiaan, melalui beragam cara, dan langkah: antara lain penegakan hak-hak Asasi Manusia, Pluralisme, Demokrasi dan puncaknya adalah Cinta.

Cirebon, 250913
*Diambil dari buku : Sang Zahid; Mengarungi Sufisme Gus Dur


[1]Baca:  Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-Hikam, No. 182

MANUSIA BAGAI PENGEMBARA



Hidup menurut Nabi adalah bagaikan sebuah perjalanan dan setiap orang bagaikan pengembara di belantara raya kehidupan. Ibnu Mas’ud Seorang sahabat Nabi menceritakan kepada kita :  

“Nabi tidur di atas tikar. Ketika bangun, tampak di bagian tubuhnya bekas cetakan tikar. Aku mengusap-usap bagian tubuh itu. Aku mengatakan: “Wahai Nabi, bolehkah kami ambilkan kasur untukmu?”. Nabi menjawab : “Apalah artinya aku dan kehidupan di dunia ini.  Di sini aku hanyalah bagaikan pengembara yang bernaung untuk istirahat di bawah pohon untuk sementara saja. Sesudah itu berangkat lagi dan meninggalkan tempat itu.

قال ابن مسعود رضي الله عنه : اِضْطَجَعَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى حَصِيْرٍ ، فَأَثَّرَ فِي جَنْبِهِ ، فَلَمَّا اِسْتَيْقَظَ ؛جَعَلْتُ أَمْسَحُ جَنْبَهُ ، فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ الله ! أَلَا آذَنْتَنَا حَتَّى نَبْسُطَ لَكَ عَلَى الْحَصِيْرِ شَيْئاً ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : مَا لِي وَلِلدُّنْياَ ؟! مَا أَنَا وَالدُّنْياَ ؟! إِنَّمَا مَثَلِي وَمَثَلُ الدُّنْيَا كَرَاكَبٍ ظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ، ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا .

Sebuah syair mengatakan :

Dunia hanya bagai payung
Ia menanungimu sesaat saja
Lalu mengizinkanmu berangkat

وَمَا دُنْيَاكَ إِلَّا مِثْلُ  ظِلٍّ     أَظَلَّكَ ثُمَّ آذَنَ بِارْتِحَالِ

Masing-masing kita sesungguhnya sedang mengunggu apa, sedang apa, dan hendak ke mana-kah?.