Minggu, 29 September 2013
TEMANI MEREKA YANG HATINYA LUKA
“Abu Hurairah berkata bahwa Nabi saw pernah bersabda:
“Pada hari kiamat kelak, Allah, mengatakan : ‘Wahai anak Adam, Aku sakit tetapi kamu tidak menjenguk-Ku”. Hamba bertanya: “Bagaimana aku harus menjenguk-Mu, sedangkan Engkau adalah Tuhan bagi alam semesta?”. Allah menjawab: “Apakah kamu tidak tahu bahwa hamba-Ku si Fulan sedang sakit, tetapi kamu tidak menjenguknya. Seandainya kamu menjenguknya pasti kamu temui Aku di sisinya”.
Allah bertanya lagi: “Hai anak Adam, Aku lapar, tetapi kamu tidak beri Aku makan”. Hamba menjawab: “Wahai Tuhan, bagaimana aku memberi-Mu makan, padahal Engkau adalah Tuhan alam semesta?”. Dia mengatakan: “Apakah kamu tidak tahu bahwa hamba-Ku si Fulan minta makan kepadamu, tetapi kamu tidak berikan dia makan? Seandainya kamu beri makan si Fulan, niscaya kamu dapati Aku berada di sisinya”.
Allah bertanya lagi: “Hai anak Adam, Aku minta minum kepadamu, tapi kamu tidak beri Aku minum”. Hamba menjawab: “Bagaimana aku memberi-Mu minum, sedangkan Engkau Tuhan bagi alam semesta?”. Allah mengatakan: “Hamba-Ku si Fulan meminta minum kepadamu tapi kamu tidak memberinya minum. Seandainya kamu memberinya minum, niscaya kamu akan mendapati dan menemui Aku di sisinya”. (Hadits Qudsi, Shahih Muslim).
Cirebon, 290913
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ :
يَا ابْنَ آدَمَ مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِى. قَالَ يَا رَبِّ كَيْفَ أَعُودُكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ. قَالَ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ عَبْدِى فُلاَنًا مَرِضَ فَلَمْ تَعُدْهُ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ عُدْتَهُ لَوَجَدْتَنِى عِنْدَهُ.
يَا ابْنَ آدَمَ اسْتَطْعَمْتُكَ فَلَمْ تُطْعِمْنِى. قَالَ يَا رَبِّ وَكَيْفَ أُطْعِمُكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ. قَالَ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّهُ اسْتَطْعَمَكَ عَبْدِى فُلاَنٌ فَلَمْ تُطْعِمْهُ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ أَطْعَمْتَهُ لَوَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِى.
يَا ابْنَ آدَمَ اسْتَسْقَيْتُكَ فَلَمْ تَسْقِنِى. قَالَ يَا رَبِّ كَيْفَ أَسْقِيكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ قَالَ اسْتَسْقَاكَ عَبْدِى فُلاَنٌ فَلَمْ تَسْقِهِ أَمَا إِنَّكَ لَوْ سَقَيْتَهُ وَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِى ». صحيح مسلم
Jumat, 27 September 2013
GUS DUR : SANG IKON (Bagian Ketiga)
Tafsir Gus
Dur atas Lima Hak Dasar Kemanusiaan
Manusia dan kemanusiaan adalah focus
pikiran dan perhatian utama Gus Dur, berhari-hari, siang dan malam dan pada setiap nafas
yang berhembus. Ia
mencintai manusia. Ia bekerja keras menerjemahkan nilai-nilai kemanusiaan ini
baik melalui tulisan-tulisannya, ceramah-ceramahnya maupun dalam sikap hidupnya
sehari-hari. Ia acap kali menyampaikan bahwa manusia apapun latarbelakangnya
wajib dilindungi hak-hak dasarnya. Dan untuk hal ini ia sering paling tidak menyebut “Al-Kuliyyat
al-Khams” (lima
hak dasar manusia). Hak-hak
dasar perlindungan ini diambil
Gus Dur dari teori Ushul Fiqh (Dasar-dasar hukum) yang ditemukannya dalam kitab klasik
Pesantren, antara lain : Al-Mustashfa min Ilm al-Ushul, karya Imam
al-Ghazali (w. 1111).
Lima Prinsip Kemanusiaan Universal itu ialah Hifzh al-Din (hak
beragama/berkeyakinan), Hifzh al-Nafs (hak hidup), Hifzh al-Aql
(hak berpikir dan mengekspresikannya), Hifz al-Irdh wa al-Nasl (hak atas
kehormatan tubuh dan kesehatan reproduksi), dan hifzh al-Mal (hak kepemilikan atas harta/benda).
Adalah menarik bahwa interpretasi
Gus Dur atas lima prinsip di atas tak selalu sama dengan interpretasi konvensional sebagaimana
yang kita baca dalam kitab-kitab klasik. Jika interpretasi
konvensional masih
memperlihatkan makna eksklusivitasnya, Gus Dur justeru memaknainya secara lebih
luas, inklusif dan
kontekstual. Ia
tak selalu patuh pada tafsir-tafsir konvensional-konservatif, meski tetap menghargai dan mengapresiasi
sebagian pikiran-pikirannya.
Dalam tafsir-tafsir
konvensional, hak perlindungan atas agama/keyakinan (Hifzh
al-Din),
misalnya, memiliki konsekuensi kewajiban Jihad, larangan murtad (pindah
agama) dan Bid’ah. Jihad dalam terma konvensional hampir selalu dimaknai
perang militeristik dengan seluruh agresifitasnya. Gus Dur justeru memaknainya dengan
sebaliknya. Untuk tema ini memperjuangkan system social anti kekerasan dan penghapusan hukuman mati untuk katagori
pelanggaran apapun. Gus Dur memperjuangkan kebebasan beragama dan berkeyakinan serta menghargai
dengan penuh minat atas inovasi-inovasi
dan kreatifitas kebudayaan manusia yang beragam dan berwarna-warni. Komitmen Gus Dur untuk hal ini
ditunjukkan, antara lain dengan keputusannya yang memukau untuk memberikan hak hidup bagi agama Kong Hu Cu. Ia juga
tidak memaknai Jihad sebagai perang militeristik, melainkan sebuah perjuangan
dalam maknanya yang luas.
Keberaniannya mengusulkan pencabutan TAP MPRS XXV tahun 1966, misalnya, jelas
menunjukkan atas perjuangan visi tersebut. Meski usulan ini mengundang
kontroversi hebat di tengah-tengah masyarakat dan Gus Dur dituduh sebagai orang
yang hendak menghidupkan komunisme yang ateis, tetapi ia tetap teguh dengan
pendiriannya. Gagasannya yang paling spektatuler adalah soal “Pribumisasi Islam” dan bukannya
“Islamisasi Pribumi”. Dalam
wacana konvensional tentang “Hifzh al-Nafs” (hak hidup/life right), diinterpretasikan antara lain sebagai kewajiban Qisas (hukuman
yang sama),
sementara Gus Dur justeru menentang hukuman mati. Tentang “hifzh al-‘Aql”,
(perlindungan atas akal) dimaknai secara konvensional memiliki konsekuensi
larangan mengkonsumsi minuman keras dan hal-hal yang memabukkan lainnya serta
segala yang merusak akal (al-Mukhaddarat), Gus Dur justeru
menerjemahkannya lebih jauh dari itu dan lebih mendasar. Ia memaknainya sebagai
hak atas kebebasan berpikir, berpendapat, berekspresi, berorganisasi
dan sebagainya. Gus
Dur juga satu-satunya orang yang membela Tabloid Monitor ketika dibredel
Pemerintah, gara-gara tulisan Arswendo Atmowiloto yang dianggap banyak orang
menghina Nabi Muhammad. Bagi Gus Dur Negara tidak berhak ikut campur dalam
pilihan-pilihan masyarakat atas suatu ideology atau pikiran/pendapat. Hal yang
sama juga terjadi pada kasus Salman Rushdie yang menulis buku paling
controversial : “The Satanic Verses” (Ayat-ayat Setan). Baginya buku
ini adalah sebuah buku novel yang bagus, meski dari segi isi dia tak setuju.
Salman Rushdie memang konyol. Tetapi Gus Dur ingin mengajak orang untuk membaca
karya sastra ini dengan jernih. “Mari kita lihat lebih lapang.
Ini sebuah novel, karya sastra yang harus dipahami secara sendiri. Membaca
novel tidak sama dengan membaca statement.
Soal isinya yang menghina Nabi, saya sendiri juga tidak setuju,” ungkap Gus Dur. Dengan cara itulah seharusnya
kita melihat novel itu. Saya tidak percaya ada orang menjadi murtad haya karena membaca buku Satanic
Verses”. Gus
Dur memang keberatan bila hanya karena soal ini sebuah buku dan setiap karya
intelektual harus dilarang oleh Negara.
Ketika masih banyak ulama menerjemahkan “Hifzh al-Nasl”
(perlindungan atas keturunan) sekedar anjuran menikah, berketurunan, melarang
perzinahan dan proteksi ketat atas tingkah-laku perempuan serta ketabuan atas
hak-hak seksualitas mereka, Gus Dur memaknainya secara lebih luas dan mendalam.
Hifzh al-Nasl baginya bermakna perlindungan atas hak-hak seksualitas dan
atas kesehatan reproduksi. Ia menerima dengan tangan terbuka orang semacam
Dorce yang harus berganti kelamin dan Inul Daratista yang lihai
menggoyang-goyangkan bagian tubuhnya. Ia juga bersedia menjadi penasehat
kelompok dengan orientasi seksual yang tak lazim, tak umum, tidak mainstream.
Melalui interpretasi-interpretasi
Gus Dur yang genuine, orisinal dan kontekstual sebagaimana contoh di atas
tampak sekali bagaimana dan betapa komitmennya dia dalam memperjuangkan
terwujudnya penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Bagi
Gus Dur prinsip-prinsip kemanusiaan universal atau hak-hak asasi manusia
tersebut sejalan dengan dan tidak lain adalah visi agama-agama, terutama Islam.
Dari basis pikiran-pikiran ini, lalu mengalirlah gagasan-gagasan Gus Dur yang
lain : Pluralisme, Toleransi, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan tema-tema
kemanusiaan lainnya. Oleh karena itu Pancasila dan Konstitusi Negara Republik
Indonesia yang di dalamnya mengandung semua isme dalam pandangannya adalah kompetable dengan Islam.
Gus
Dur tak henti-hentinya mengerahkan tenaga dan pikirannya memperjuangkan
tegaknya nilai-nilai kemanusiaan universal ini dalam kehidupan berbangsa,
bernegara dan bermasyarakat. Perjuangan itu dilakukannya dengan setulus hati.
Baginya nilai-nilai tersebut adalah akar
bagi sebuah bangunan masyarakat yang adil dan sejahtera. Dan pada akhirnya ia
merupakan komitmen yang nyata bagi penegakan prinsip fundamental Islam: Tauhid,
Ke-Esa-an Tuhan. Dengan begitu, Gus Dur adalah seorang Muwahhid-Mukhlish
(seorang yang mengesakan Tuhan dengan setulus-tulusnya). Jika sufi,
martir-legendaris, al-Hallaj berteriak: ”Akulah Kebenaran”, maka Gus Dur
mungkin bilang; “Akulah Kemanusiaan”. Ya,
Gus Dur adalah sang pencinta manusia sebagai manusia dengan seluruh makna
kemanusiaannya.
Hari
ini dan seterusnya, ketika relasi antar manusia di negeri ini sedang memasuki
sirkuit kemelut dan bagai benang kusut, kita sungguh-sungguh sangat membutuhkan
lahirnya orang-orang dan pemimpin-pemimpin seperti Gus Dur. Meski ia harus
menanggung duka lara karena pikiran dan aksi-aksinya yang mengundang kecemasan,
kegeraman dan kebencian sebagian orang, atau bahkan sebagian besar orang di
negerinya, ia tetap berjalan dengan tegap dan tenang disertai kewibawaan yang
penuh dan kharismanya yang menggetarkan. Mereka boleh saja dan memang berhak
untuk tidak setuju dengan eksistensi Gus Dur berikut segala pikiran dan tindakannya,
namun sejarahlah yang akan mencatat dan menyampaikan kabarnya.
Cirebon, 270913
Rabu, 25 September 2013
GUS DUR SANG IKON (Bag. Kedua)
Gus Dur Memikirkan Manusia
Sebagaimana para sufi besar, Gus Dur adalah seorang yang selalu berkehendak hidupnya diabdikan sepenuhnya bagi manusia dan kemanusiaan. Ia tak memikirkan dirinya sendiri. Justeru Gus Dur sepertinya tak peduli terhadap dirinya sendiri dan keluarganya, meski dia tetap mencintai dan menyayangi mereka. Ia memiliki sumber inspirasi bagi gagasan ini sebagaimana para sufi memilikinya. Salah satunya adalah teks suci kenabian (hadits Qudsi):
كُنْتُ كَنْزاً مَخْفِيًّا فَأَحْبَبْتُ أَنْ أُعْرَفَ فَخَلَقْتُ الْخَلْقَ فَبِى عَرَفُوْنِى
“Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi. Aku rindu untuk dikenal. Maka aku ciptakan makhluk. Lalu berkat Aku mereka mengenal-Ku”.
Makhluk dalam hadits ini tidak lain adalah manusia. Hadits ini ingin menyatakan bahwa Tuhan menyintai manusia. Cinta Tuhan kepada manusia adalah untuk seluruh manusia di manapun ia berada dengan segala macam identitas primordial yang diciptakan-Nya sendiri. Meski manusia mendurhakai-Nya, Tuhan tetap saja memberi kegembiraan dan menganugerahinya segala yang diperlukan bagi hidupnya. Tuhan Maha Penyayang dan Maha Pengasih (Huwa Al-Rahman al-Rahim) kepada semua ciptaan-Nya, tak peduli siapa dia. Dia mengatakan :“Huwa Alladzi Khalaqa Lakum Ma fi al-Ardhi Jami’an” (Dialah Yang Menciptakan untuk kalian semua apa yang ada di bumi), kata Al-Qur’an. Maka dalam pikiran Gus Dur: mengapa manusia tidak menyintai sesamanya?. Mengapa ada manusia yang tidak mencintai saudaranya yang juga manusia, dalam kemanusiaan?. Manusia adalah juga makhluk Tuhan yang terhormat dan berharga. Dia sendiri menghormatinya dan menghargainya. Tak ciptaan-Nya yang dihormati-Nya seperti penghormatannya kepada manusia. Mengapa ada manusia tidak saling menghormati dan menghargai sesamanya, hanya karena identitas-identitasnya yang berbeda semata?. Dia mengunggulkannya dari ciptaan-Nya yang lain. Mengapa ada manusia yang merendahkan manusia lainnya?.
Manusialah, karena itu semua, yang kemudian memperoleh mandat-Nya untuk mengatur kehidupan manusia di muka bumi. Manusia adalah Khalifah Allah fi al-Ardh (mandataris Tuhan di muka bumi). Di atas landasan spiritualitas inilah Gus Dur berpikir, bergerak dan bertindak. Ia selalu saja ingin agar manusia dihargai dan dihormati sebagaimana Tuhan menghormatinya. Sebagai makhluk Tuhan, manusia adalah setara di hadapan-Nya. Maka identitas-identitas asal yang diciptakan Tuhan dan label-label yang dilekatkan masyarakat kepada manusia ; ras, warna kulit, jenis kelamin, asal-usul, agama/keyakinan atau kepercayaan (bila orang ingin membedakannya), tempat tinggal, kebangsaan dan lain-lain, telah hilang dari perhatian dan penilaiannya. Perhatian dan penilaian Tuhan ditujukan hanya pada tingkahlaku, hati nurani manusia dan kesetiaan mereka kepada Tuhan, serta penghargaan mereka pada sesamanya. Gus Dur selalu berharap agar manusia senantiasa bersikap rendah hati.
Cirebon, 250913
Selasa, 24 September 2013
GUS DUR, IKON PENCINTA MANUSIA*
(Bagian Kesatu)
Sulit untuk dapat disangkal bahwa
Gus Dur adalah salah satu symbol
dan ikon pembaruan dalam pemikiran dan kehidupan social dalam dunia muslim,
khususnya di Indonesia. Tokoh pembaru lainnya
adalah Cak Nur (Nurcholis Madjid). Hampir seluruh hidupnya diabdikan
bagi kepentingan ini. Gus Dur
hadir dengan pikiran dan gagasan yang sungguh-sungguh mengagumkan, mencerahkan
sekaligus menggairahkan bagi upaya-upaya pembaruan ini. Sumber-sumber
intelektualismenya sangat luas, mendalam dan terbuka. Gus Dur tidak hanya
menguasai khazanah keilmuan Islam klasik yang menjadi basis pengetahuan
awalnya, tetapi juga pengetahuan social, budaya, seni, sastra, politik dan
agama-agama dunia. Pengetahuan Gus Dur melampaui sekat-sekat primordialisme. Ia
membaca dengan lahap dan menyerap dengan riang pikiran-pikiran para tokoh dunia,
klasik maupun modern, tanpa melihat asal usul dan keyakinan mereka. Gus Dur
bukan hanya memahami semuanya itu dengan sangat baik tetapi juga mengapresiasi dengan sepenuh hati.
Sebagai
ikon, symbol atau kode, Gus Dur dimaknai secara beragam dan warna warni. Selalu
ada yang mengagumi dan dalam waktu yang sama ada pula yang mengecamnya, tetapi
ada juga yang diam, tak paham dan kebingungan. Ikon selalu menyimpan kebesaran,
dan Gus Dur adalah tokoh besar dalam dunia Islam. Namanya dikenal di banyak
tempat di dunia. Sebagian menempelkan namanya dalam karya arsitektur atau jalan
raya. Seperti tokoh besar pada umumnya, pikiran dan gagasannya acap mengejutkan
dan membingungkan banyak orang. Ia dianggap sering menyampaikan pikiran-pikiran
yang kontroversial dan inkonsisten. Teramat banyak para pengkaji Gus Dur,
apalagi masyarakat pada umumnya, terperangkap dalam kegalauan yang luar biasa
untuk bisa menangkap dan memahami pikiran-pikiran, gagasan-gagasan dan
langkah-langkahnya yang controversial itu. Kegalauan ini tampaknya bukan hanya
karena Gus Dur memiliki pandangan yang beragam, berwarna dan berbeda-beda atas
masalah yang sama. Inskonsistensinya juga
bukan karena dia ingin memuaskan semua pihak dengan kualitas intelektual yang
beragam dan bertingkat, meskipun mungkin saja demikian. Alih-alih dia punya hasrat ingin dikenal dan popular
sebagaimana dikatakan dengan sinis oleh sebagian orang. “Khalif Tu’raf”,
berbedalah, engkau pasti popular, kata mereka, kata yang pernah diarahkan
kepada Cak Nur. Gus Dur yang controversial itu boleh
jadi lebih karena dia sendiri mengalami pergulatan intelektual dalam dirinya
tanpa bisa dihentikan. Pikirannya terus saja berjalan, menjelajah dan mengejar-ngejar
setiap waktu dan dalam kadar yang sangat dinamis, sejalan dengan gerak
kehidupan umat manusia. Pikirannya
selalu ingin menjadi. Situasi-situasi
ini menghadirkan kenyataan-kenyataan yang berubah dan berkembang. Atau mungkin juga karena Gus Dur,
seolah tak sabar, ingin mempersembahkan pengetahuannya bagi perubahan social
yang dikehendaki. Yakni sebuah wujud
social yang adil dan sejahtera, sebelum masyarakat siap
menerimanya. Tidaklah mengherankan jika, karena itu, tidak sedikit orang sering
menyebut pikiran dan gagasan Gus Dur melampaui zamannya. Banyak orang tidak
memahami jalan pikirannya ketika ia disampaikan. Tetapi dengan berjalannya
waktu dan kehidupan makin cerdas, pikiran-pikiran itu baru dapat dipahami. Ini
bagi saya memperlihatkan tanda seorang “hakim” (arif, bijak bestari), seorang
sufi atau “wali’ sebagaimana 9 wali
sanga dalam konteks Indonesia. Mengenai pelampauan atau lompatan pikirannya yang mendahului
zamannya itu
saya ingin mengutip syair seorang sufi besar yang nama dan pikirannya sering
disebut Gus Dur, Ibnu Athaillah al-Sakandari :
تَسْبِقُ اَنْوَارُ
الْحُكَمَاءِ أَقْوَالَهُمْ فَحَيْثُ صَارَ التَّنْوِيْرُ وَصَلَ التَّعْبِيْرُ
“Cahaya para bijak bestari mendahului kata-katanya. Ketika batin
telah tercerahkan, kata-kata mereka sampai”.[1]
Inkonsistensi Gus
Dur bagi saya adalah hanya pada isu-isu particular, dan ini adalah situasi yang
wajar dan selalu dihadapi oleh siapa saja. Imam al-Ghazali, misalnya,
pemikir, teolog, ahli hukum dan sufi
besar yang sering disalahpahami dan dianggap atau bahkan dikecam banyak orang
sebagai tokoh paling inkonsisten. Dia mengkritik dan menyerang para filosof di
satu sisi dan mengapresiasi logika Aristotelian pada sisi lain. Sekali lagi,
hal ini terjadi karena selalu dia harus dalam situasi yang berubah-ubah, audien
yang berbeda-berbeda dan hal-hal lain yang memaksanya untuk bicara dengan bijak.
Akan tetapi dia sungguh-sungguh konsisten pada tujuannya, yaitu menghidupkan
dunia kemanusiaan, melalui beragam cara, dan langkah: antara lain penegakan
hak-hak Asasi Manusia, Pluralisme, Demokrasi dan puncaknya adalah Cinta.
Cirebon,
250913
*Diambil dari buku : Sang Zahid;
Mengarungi Sufisme Gus Dur
MANUSIA BAGAI PENGEMBARA
Hidup menurut Nabi adalah bagaikan sebuah perjalanan dan setiap orang bagaikan pengembara di belantara raya kehidupan. Ibnu Mas’ud Seorang sahabat Nabi menceritakan kepada kita :
“Nabi tidur di atas tikar. Ketika bangun, tampak di bagian tubuhnya bekas cetakan tikar. Aku
mengusap-usap bagian tubuh itu. Aku mengatakan: “Wahai
Nabi, bolehkah kami ambilkan kasur untukmu?”. Nabi menjawab : “Apalah artinya
aku dan kehidupan di dunia ini. Di sini
aku hanyalah bagaikan pengembara yang bernaung untuk istirahat di bawah pohon untuk sementara saja. Sesudah itu berangkat lagi dan meninggalkan tempat itu.
قال
ابن مسعود رضي الله عنه : اِضْطَجَعَ رَسُولُ اللهِ صلى الله
عليه وسلم عَلَى حَصِيْرٍ ، فَأَثَّرَ فِي جَنْبِهِ ، فَلَمَّا اِسْتَيْقَظَ
؛جَعَلْتُ أَمْسَحُ جَنْبَهُ ، فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ الله ! أَلَا آذَنْتَنَا حَتَّى
نَبْسُطَ لَكَ عَلَى الْحَصِيْرِ شَيْئاً ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه
وسلم : مَا لِي
وَلِلدُّنْياَ ؟! مَا أَنَا وَالدُّنْياَ ؟! إِنَّمَا مَثَلِي وَمَثَلُ الدُّنْيَا
كَرَاكَبٍ ظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ، ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا .
Sebuah
syair mengatakan :
Dunia hanya bagai payung
Ia menanungimu sesaat saja
Lalu mengizinkanmu berangkat
وَمَا
دُنْيَاكَ إِلَّا مِثْلُ ظِلٍّ أَظَلَّكَ ثُمَّ آذَنَ بِارْتِحَالِ
Masing-masing
kita sesungguhnya sedang mengunggu apa, sedang apa, dan hendak ke mana-kah?.
Langganan:
Postingan (Atom)