Tafsir Gus
Dur atas Lima Hak Dasar Kemanusiaan
Manusia dan kemanusiaan adalah focus
pikiran dan perhatian utama Gus Dur, berhari-hari, siang dan malam dan pada setiap nafas
yang berhembus. Ia
mencintai manusia. Ia bekerja keras menerjemahkan nilai-nilai kemanusiaan ini
baik melalui tulisan-tulisannya, ceramah-ceramahnya maupun dalam sikap hidupnya
sehari-hari. Ia acap kali menyampaikan bahwa manusia apapun latarbelakangnya
wajib dilindungi hak-hak dasarnya. Dan untuk hal ini ia sering paling tidak menyebut “Al-Kuliyyat
al-Khams” (lima
hak dasar manusia). Hak-hak
dasar perlindungan ini diambil
Gus Dur dari teori Ushul Fiqh (Dasar-dasar hukum) yang ditemukannya dalam kitab klasik
Pesantren, antara lain : Al-Mustashfa min Ilm al-Ushul, karya Imam
al-Ghazali (w. 1111).
Lima Prinsip Kemanusiaan Universal itu ialah Hifzh al-Din (hak
beragama/berkeyakinan), Hifzh al-Nafs (hak hidup), Hifzh al-Aql
(hak berpikir dan mengekspresikannya), Hifz al-Irdh wa al-Nasl (hak atas
kehormatan tubuh dan kesehatan reproduksi), dan hifzh al-Mal (hak kepemilikan atas harta/benda).
Adalah menarik bahwa interpretasi
Gus Dur atas lima prinsip di atas tak selalu sama dengan interpretasi konvensional sebagaimana
yang kita baca dalam kitab-kitab klasik. Jika interpretasi
konvensional masih
memperlihatkan makna eksklusivitasnya, Gus Dur justeru memaknainya secara lebih
luas, inklusif dan
kontekstual. Ia
tak selalu patuh pada tafsir-tafsir konvensional-konservatif, meski tetap menghargai dan mengapresiasi
sebagian pikiran-pikirannya.
Dalam tafsir-tafsir
konvensional, hak perlindungan atas agama/keyakinan (Hifzh
al-Din),
misalnya, memiliki konsekuensi kewajiban Jihad, larangan murtad (pindah
agama) dan Bid’ah. Jihad dalam terma konvensional hampir selalu dimaknai
perang militeristik dengan seluruh agresifitasnya. Gus Dur justeru memaknainya dengan
sebaliknya. Untuk tema ini memperjuangkan system social anti kekerasan dan penghapusan hukuman mati untuk katagori
pelanggaran apapun. Gus Dur memperjuangkan kebebasan beragama dan berkeyakinan serta menghargai
dengan penuh minat atas inovasi-inovasi
dan kreatifitas kebudayaan manusia yang beragam dan berwarna-warni. Komitmen Gus Dur untuk hal ini
ditunjukkan, antara lain dengan keputusannya yang memukau untuk memberikan hak hidup bagi agama Kong Hu Cu. Ia juga
tidak memaknai Jihad sebagai perang militeristik, melainkan sebuah perjuangan
dalam maknanya yang luas.
Keberaniannya mengusulkan pencabutan TAP MPRS XXV tahun 1966, misalnya, jelas
menunjukkan atas perjuangan visi tersebut. Meski usulan ini mengundang
kontroversi hebat di tengah-tengah masyarakat dan Gus Dur dituduh sebagai orang
yang hendak menghidupkan komunisme yang ateis, tetapi ia tetap teguh dengan
pendiriannya. Gagasannya yang paling spektatuler adalah soal “Pribumisasi Islam” dan bukannya
“Islamisasi Pribumi”. Dalam
wacana konvensional tentang “Hifzh al-Nafs” (hak hidup/life right), diinterpretasikan antara lain sebagai kewajiban Qisas (hukuman
yang sama),
sementara Gus Dur justeru menentang hukuman mati. Tentang “hifzh al-‘Aql”,
(perlindungan atas akal) dimaknai secara konvensional memiliki konsekuensi
larangan mengkonsumsi minuman keras dan hal-hal yang memabukkan lainnya serta
segala yang merusak akal (al-Mukhaddarat), Gus Dur justeru
menerjemahkannya lebih jauh dari itu dan lebih mendasar. Ia memaknainya sebagai
hak atas kebebasan berpikir, berpendapat, berekspresi, berorganisasi
dan sebagainya. Gus
Dur juga satu-satunya orang yang membela Tabloid Monitor ketika dibredel
Pemerintah, gara-gara tulisan Arswendo Atmowiloto yang dianggap banyak orang
menghina Nabi Muhammad. Bagi Gus Dur Negara tidak berhak ikut campur dalam
pilihan-pilihan masyarakat atas suatu ideology atau pikiran/pendapat. Hal yang
sama juga terjadi pada kasus Salman Rushdie yang menulis buku paling
controversial : “The Satanic Verses” (Ayat-ayat Setan). Baginya buku
ini adalah sebuah buku novel yang bagus, meski dari segi isi dia tak setuju.
Salman Rushdie memang konyol. Tetapi Gus Dur ingin mengajak orang untuk membaca
karya sastra ini dengan jernih. “Mari kita lihat lebih lapang.
Ini sebuah novel, karya sastra yang harus dipahami secara sendiri. Membaca
novel tidak sama dengan membaca statement.
Soal isinya yang menghina Nabi, saya sendiri juga tidak setuju,” ungkap Gus Dur. Dengan cara itulah seharusnya
kita melihat novel itu. Saya tidak percaya ada orang menjadi murtad haya karena membaca buku Satanic
Verses”. Gus
Dur memang keberatan bila hanya karena soal ini sebuah buku dan setiap karya
intelektual harus dilarang oleh Negara.
Ketika masih banyak ulama menerjemahkan “Hifzh al-Nasl”
(perlindungan atas keturunan) sekedar anjuran menikah, berketurunan, melarang
perzinahan dan proteksi ketat atas tingkah-laku perempuan serta ketabuan atas
hak-hak seksualitas mereka, Gus Dur memaknainya secara lebih luas dan mendalam.
Hifzh al-Nasl baginya bermakna perlindungan atas hak-hak seksualitas dan
atas kesehatan reproduksi. Ia menerima dengan tangan terbuka orang semacam
Dorce yang harus berganti kelamin dan Inul Daratista yang lihai
menggoyang-goyangkan bagian tubuhnya. Ia juga bersedia menjadi penasehat
kelompok dengan orientasi seksual yang tak lazim, tak umum, tidak mainstream.
Melalui interpretasi-interpretasi
Gus Dur yang genuine, orisinal dan kontekstual sebagaimana contoh di atas
tampak sekali bagaimana dan betapa komitmennya dia dalam memperjuangkan
terwujudnya penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Bagi
Gus Dur prinsip-prinsip kemanusiaan universal atau hak-hak asasi manusia
tersebut sejalan dengan dan tidak lain adalah visi agama-agama, terutama Islam.
Dari basis pikiran-pikiran ini, lalu mengalirlah gagasan-gagasan Gus Dur yang
lain : Pluralisme, Toleransi, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan tema-tema
kemanusiaan lainnya. Oleh karena itu Pancasila dan Konstitusi Negara Republik
Indonesia yang di dalamnya mengandung semua isme dalam pandangannya adalah kompetable dengan Islam.
Gus
Dur tak henti-hentinya mengerahkan tenaga dan pikirannya memperjuangkan
tegaknya nilai-nilai kemanusiaan universal ini dalam kehidupan berbangsa,
bernegara dan bermasyarakat. Perjuangan itu dilakukannya dengan setulus hati.
Baginya nilai-nilai tersebut adalah akar
bagi sebuah bangunan masyarakat yang adil dan sejahtera. Dan pada akhirnya ia
merupakan komitmen yang nyata bagi penegakan prinsip fundamental Islam: Tauhid,
Ke-Esa-an Tuhan. Dengan begitu, Gus Dur adalah seorang Muwahhid-Mukhlish
(seorang yang mengesakan Tuhan dengan setulus-tulusnya). Jika sufi,
martir-legendaris, al-Hallaj berteriak: ”Akulah Kebenaran”, maka Gus Dur
mungkin bilang; “Akulah Kemanusiaan”. Ya,
Gus Dur adalah sang pencinta manusia sebagai manusia dengan seluruh makna
kemanusiaannya.
Hari
ini dan seterusnya, ketika relasi antar manusia di negeri ini sedang memasuki
sirkuit kemelut dan bagai benang kusut, kita sungguh-sungguh sangat membutuhkan
lahirnya orang-orang dan pemimpin-pemimpin seperti Gus Dur. Meski ia harus
menanggung duka lara karena pikiran dan aksi-aksinya yang mengundang kecemasan,
kegeraman dan kebencian sebagian orang, atau bahkan sebagian besar orang di
negerinya, ia tetap berjalan dengan tegap dan tenang disertai kewibawaan yang
penuh dan kharismanya yang menggetarkan. Mereka boleh saja dan memang berhak
untuk tidak setuju dengan eksistensi Gus Dur berikut segala pikiran dan tindakannya,
namun sejarahlah yang akan mencatat dan menyampaikan kabarnya.
Cirebon, 270913
Tidak ada komentar:
Posting Komentar