Jumat, 27 September 2013

GUS DUR : SANG IKON (Bagian Ketiga)



Tafsir Gus Dur atas Lima Hak Dasar Kemanusiaan

Manusia dan kemanusiaan adalah focus pikiran dan perhatian utama Gus Dur, berhari-hari, siang dan malam dan pada setiap nafas yang berhembus. Ia mencintai manusia. Ia bekerja keras menerjemahkan nilai-nilai kemanusiaan ini baik melalui tulisan-tulisannya, ceramah-ceramahnya maupun dalam sikap hidupnya sehari-hari. Ia acap kali menyampaikan bahwa manusia apapun latarbelakangnya wajib dilindungi hak-hak dasarnya. Dan untuk hal ini ia sering paling tidak menyebut “Al-Kuliyyat al-Khams” (lima hak dasar manusia). Hak-hak dasar perlindungan ini diambil Gus Dur dari teori Ushul Fiqh (Dasar-dasar hukum) yang ditemukannya dalam kitab klasik Pesantren, antara lain : Al-Mustashfa min Ilm al-Ushul, karya Imam al-Ghazali (w. 1111). Lima Prinsip Kemanusiaan Universal itu ialah Hifzh al-Din (hak beragama/berkeyakinan), Hifzh al-Nafs (hak hidup), Hifzh al-Aql (hak berpikir dan mengekspresikannya), Hifz al-Irdh wa al-Nasl (hak atas kehormatan tubuh dan kesehatan reproduksi), dan hifzh al-Mal  (hak kepemilikan atas harta/benda).
Adalah menarik bahwa interpretasi Gus Dur atas lima prinsip di atas tak selalu sama dengan interpretasi konvensional sebagaimana yang kita baca dalam kitab-kitab klasik. Jika  interpretasi konvensional masih memperlihatkan makna eksklusivitasnya, Gus Dur justeru memaknainya secara lebih luas, inklusif dan kontekstual. Ia tak selalu patuh pada tafsir-tafsir konvensional-konservatif,  meski tetap menghargai dan mengapresiasi sebagian pikiran-pikirannya. Dalam tafsir-tafsir konvensional, hak perlindungan atas agama/keyakinan (Hifzh al-Din), misalnya, memiliki konsekuensi kewajiban Jihad, larangan murtad (pindah agama) dan Bid’ah. Jihad dalam terma konvensional hampir selalu dimaknai perang militeristik dengan seluruh agresifitasnya. Gus Dur justeru memaknainya dengan sebaliknya. Untuk tema ini  memperjuangkan system social anti kekerasan dan penghapusan hukuman mati untuk katagori pelanggaran apapun. Gus Dur memperjuangkan kebebasan beragama dan berkeyakinan serta menghargai dengan penuh minat atas inovasi-inovasi dan kreatifitas kebudayaan manusia yang beragam dan berwarna-warni. Komitmen Gus Dur untuk hal ini ditunjukkan, antara lain dengan keputusannya yang memukau untuk memberikan hak hidup bagi agama Kong Hu Cu. Ia juga tidak memaknai Jihad sebagai perang militeristik, melainkan sebuah perjuangan dalam maknanya yang luas. Keberaniannya mengusulkan pencabutan TAP MPRS XXV tahun 1966, misalnya, jelas menunjukkan atas perjuangan visi tersebut. Meski usulan ini mengundang kontroversi hebat di tengah-tengah masyarakat dan Gus Dur dituduh sebagai orang yang hendak menghidupkan komunisme yang ateis, tetapi ia tetap teguh dengan pendiriannya. Gagasannya yang paling spektatuler adalah soal “Pribumisasi Islam” dan bukannya “Islamisasi Pribumi”. Dalam wacana konvensional tentang Hifzh al-Nafs” (hak hidup/life right), diinterpretasikan antara lain sebagai kewajiban Qisas (hukuman yang sama), sementara Gus Dur justeru menentang hukuman mati. Tentang “hifzh al-‘Aql”, (perlindungan atas akal) dimaknai secara konvensional memiliki konsekuensi larangan mengkonsumsi minuman keras dan hal-hal yang memabukkan lainnya serta segala yang merusak akal (al-Mukhaddarat), Gus Dur justeru menerjemahkannya lebih jauh dari itu dan lebih mendasar. Ia memaknainya sebagai hak atas kebebasan berpikir, berpendapat, berekspresi, berorganisasi dan sebagainya. Gus Dur juga satu-satunya orang yang membela Tabloid Monitor ketika dibredel Pemerintah, gara-gara tulisan Arswendo Atmowiloto yang dianggap banyak orang menghina Nabi Muhammad. Bagi Gus Dur Negara tidak berhak ikut campur dalam pilihan-pilihan masyarakat atas suatu ideology atau pikiran/pendapat. Hal yang sama juga terjadi pada kasus Salman Rushdie yang menulis buku paling controversial : “The Satanic Verses” (Ayat-ayat Setan). Baginya buku ini adalah sebuah buku novel yang bagus, meski dari segi isi dia tak setuju. Salman Rushdie memang konyol. Tetapi Gus Dur ingin mengajak orang untuk membaca karya sastra ini dengan jernih. “Mari kita lihat lebih lapang. Ini sebuah novel, karya sastra yang harus dipahami secara sendiri. Membaca novel tidak sama dengan membaca statement. Soal isinya yang menghina Nabi, saya sendiri juga tidak setuju,” ungkap Gus Dur. Dengan cara itulah seharusnya kita melihat novel itu. Saya tidak percaya ada orang menjadi murtad haya karena membaca buku Satanic Verses. Gus Dur memang keberatan bila hanya karena soal ini sebuah buku dan setiap karya intelektual harus dilarang oleh Negara.
Ketika masih  banyak ulama menerjemahkan “Hifzh al-Nasl” (perlindungan atas keturunan) sekedar anjuran menikah, berketurunan, melarang perzinahan dan proteksi ketat atas tingkah-laku perempuan serta ketabuan atas hak-hak seksualitas mereka, Gus Dur memaknainya secara lebih luas dan mendalam. Hifzh al-Nasl baginya bermakna perlindungan atas hak-hak seksualitas dan atas kesehatan reproduksi. Ia menerima dengan tangan terbuka orang semacam Dorce yang harus berganti kelamin dan Inul Daratista yang lihai menggoyang-goyangkan bagian tubuhnya. Ia juga bersedia menjadi penasehat kelompok dengan orientasi seksual yang tak lazim, tak umum, tidak mainstream.
Melalui interpretasi-interpretasi Gus Dur yang genuine, orisinal dan kontekstual sebagaimana contoh di atas tampak sekali bagaimana dan betapa komitmennya dia dalam memperjuangkan terwujudnya penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Bagi Gus Dur prinsip-prinsip kemanusiaan universal atau hak-hak asasi manusia tersebut sejalan dengan dan tidak lain adalah visi agama-agama, terutama Islam. Dari basis pikiran-pikiran ini, lalu mengalirlah gagasan-gagasan Gus Dur yang lain : Pluralisme, Toleransi, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan tema-tema kemanusiaan lainnya. Oleh karena itu Pancasila dan Konstitusi Negara Republik Indonesia yang di dalamnya mengandung semua isme dalam pandangannya adalah kompetable dengan Islam.      
Gus Dur tak henti-hentinya mengerahkan tenaga dan pikirannya memperjuangkan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan universal ini dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Perjuangan itu dilakukannya dengan setulus hati. Baginya nilai-nilai tersebut  adalah akar bagi sebuah bangunan masyarakat yang adil dan sejahtera. Dan pada akhirnya ia merupakan komitmen yang nyata bagi penegakan prinsip fundamental Islam: Tauhid, Ke-Esa-an Tuhan. Dengan begitu, Gus Dur adalah seorang Muwahhid-Mukhlish (seorang yang mengesakan Tuhan dengan setulus-tulusnya). Jika sufi, martir-legendaris, al-Hallaj berteriak: ”Akulah Kebenaran”, maka Gus Dur mungkin bilang; “Akulah Kemanusiaan”. Ya, Gus Dur adalah sang pencinta manusia sebagai manusia dengan seluruh makna kemanusiaannya.    
Hari ini dan seterusnya, ketika relasi antar manusia di negeri ini sedang memasuki sirkuit kemelut dan bagai benang kusut, kita sungguh-sungguh sangat membutuhkan lahirnya orang-orang dan pemimpin-pemimpin seperti Gus Dur. Meski ia harus menanggung duka lara karena pikiran dan aksi-aksinya yang mengundang kecemasan, kegeraman dan kebencian sebagian orang, atau bahkan sebagian besar orang di negerinya, ia tetap berjalan dengan tegap dan tenang disertai kewibawaan yang penuh dan kharismanya yang menggetarkan. Mereka boleh saja dan memang berhak untuk tidak setuju dengan eksistensi Gus Dur berikut segala pikiran dan tindakannya, namun sejarahlah yang akan mencatat dan menyampaikan kabarnya.
Cirebon, 270913

Tidak ada komentar:

Posting Komentar