Selasa, 24 September 2013

GUS DUR, IKON PENCINTA MANUSIA*



(Bagian Kesatu)

Sulit untuk dapat disangkal bahwa Gus Dur adalah salah satu symbol dan ikon pembaruan dalam pemikiran dan kehidupan social dalam dunia muslim, khususnya di Indonesia. Tokoh pembaru lainnya adalah Cak Nur (Nurcholis Madjid). Hampir seluruh hidupnya diabdikan bagi kepentingan ini. Gus Dur hadir dengan pikiran dan gagasan yang sungguh-sungguh mengagumkan, mencerahkan sekaligus menggairahkan bagi upaya-upaya pembaruan ini. Sumber-sumber intelektualismenya sangat luas, mendalam dan terbuka. Gus Dur tidak hanya menguasai khazanah keilmuan Islam klasik yang menjadi basis pengetahuan awalnya, tetapi juga pengetahuan social, budaya, seni, sastra, politik dan agama-agama dunia. Pengetahuan Gus Dur melampaui sekat-sekat primordialisme. Ia membaca dengan lahap dan menyerap dengan riang pikiran-pikiran para tokoh dunia, klasik maupun modern, tanpa melihat asal usul dan keyakinan mereka. Gus Dur bukan hanya memahami semuanya itu dengan sangat baik tetapi juga  mengapresiasi dengan sepenuh hati.
Sebagai ikon, symbol atau kode, Gus Dur dimaknai secara beragam dan warna warni. Selalu ada yang mengagumi dan dalam waktu yang sama ada pula yang mengecamnya, tetapi ada juga yang diam, tak paham dan kebingungan. Ikon selalu menyimpan kebesaran, dan Gus Dur adalah tokoh besar dalam dunia Islam. Namanya dikenal di banyak tempat di dunia. Sebagian menempelkan namanya dalam karya arsitektur atau jalan raya. Seperti tokoh besar pada umumnya, pikiran dan gagasannya acap mengejutkan dan membingungkan banyak orang. Ia dianggap sering menyampaikan pikiran-pikiran yang kontroversial dan inkonsisten. Teramat banyak para pengkaji Gus Dur, apalagi masyarakat pada umumnya, terperangkap dalam kegalauan yang luar biasa untuk bisa menangkap dan memahami pikiran-pikiran, gagasan-gagasan dan langkah-langkahnya yang controversial itu. Kegalauan ini tampaknya bukan hanya karena Gus Dur memiliki pandangan yang beragam, berwarna dan berbeda-beda atas masalah yang sama. Inskonsistensinya juga bukan karena dia ingin memuaskan semua pihak dengan kualitas intelektual yang beragam dan bertingkat, meskipun mungkin saja demikian. Alih-alih dia punya hasrat ingin dikenal dan popular sebagaimana dikatakan dengan sinis oleh sebagian orang. “Khalif Tu’raf”, berbedalah, engkau pasti popular, kata mereka, kata yang pernah diarahkan kepada Cak Nur. Gus Dur yang controversial itu boleh jadi lebih karena dia sendiri mengalami pergulatan intelektual dalam dirinya tanpa bisa dihentikan. Pikirannya terus saja berjalan, menjelajah dan mengejar-ngejar setiap waktu dan dalam kadar yang sangat dinamis, sejalan dengan gerak kehidupan umat manusia. Pikirannya selalu ingin menjadi. Situasi-situasi ini menghadirkan kenyataan-kenyataan yang berubah dan berkembang. Atau mungkin juga karena Gus Dur, seolah tak sabar, ingin mempersembahkan pengetahuannya bagi perubahan social yang dikehendaki. Yakni sebuah wujud social yang adil dan sejahtera, sebelum masyarakat siap menerimanya. Tidaklah mengherankan jika, karena itu, tidak sedikit orang sering menyebut pikiran dan gagasan Gus Dur melampaui zamannya. Banyak orang tidak memahami jalan pikirannya ketika ia disampaikan. Tetapi dengan berjalannya waktu dan kehidupan makin cerdas, pikiran-pikiran itu baru dapat dipahami. Ini bagi saya memperlihatkan tanda seorang “hakim” (arif, bijak bestari), seorang sufi atau “wali’ sebagaimana 9 wali sanga dalam konteks Indonesia. Mengenai pelampauan atau lompatan pikirannya yang mendahului zamannya itu saya ingin mengutip syair seorang sufi besar yang nama dan pikirannya sering disebut Gus Dur, Ibnu Athaillah al-Sakandari :
تَسْبِقُ اَنْوَارُ الْحُكَمَاءِ أَقْوَالَهُمْ فَحَيْثُ صَارَ التَّنْوِيْرُ وَصَلَ التَّعْبِيْرُ
“Cahaya para bijak bestari mendahului kata-katanya. Ketika batin telah tercerahkan, kata-kata mereka sampai”.[1]
Inkonsistensi Gus Dur bagi saya adalah hanya pada isu-isu particular, dan ini adalah situasi yang wajar dan selalu dihadapi oleh siapa saja. Imam al-Ghazali, misalnya, pemikir,  teolog, ahli hukum dan sufi besar yang sering disalahpahami dan dianggap atau bahkan dikecam banyak orang sebagai tokoh paling inkonsisten. Dia mengkritik dan menyerang para filosof di satu sisi dan mengapresiasi logika Aristotelian pada sisi lain. Sekali lagi, hal ini terjadi karena selalu dia harus dalam situasi yang berubah-ubah, audien yang berbeda-berbeda dan hal-hal lain yang memaksanya untuk bicara dengan bijak. Akan tetapi dia sungguh-sungguh konsisten pada tujuannya, yaitu menghidupkan dunia kemanusiaan, melalui beragam cara, dan langkah: antara lain penegakan hak-hak Asasi Manusia, Pluralisme, Demokrasi dan puncaknya adalah Cinta.

Cirebon, 250913
*Diambil dari buku : Sang Zahid; Mengarungi Sufisme Gus Dur


[1]Baca:  Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-Hikam, No. 182

Tidak ada komentar:

Posting Komentar