(Bagian Kesatu)
Sulit untuk dapat disangkal bahwa
Gus Dur adalah salah satu symbol
dan ikon pembaruan dalam pemikiran dan kehidupan social dalam dunia muslim,
khususnya di Indonesia. Tokoh pembaru lainnya
adalah Cak Nur (Nurcholis Madjid). Hampir seluruh hidupnya diabdikan
bagi kepentingan ini. Gus Dur
hadir dengan pikiran dan gagasan yang sungguh-sungguh mengagumkan, mencerahkan
sekaligus menggairahkan bagi upaya-upaya pembaruan ini. Sumber-sumber
intelektualismenya sangat luas, mendalam dan terbuka. Gus Dur tidak hanya
menguasai khazanah keilmuan Islam klasik yang menjadi basis pengetahuan
awalnya, tetapi juga pengetahuan social, budaya, seni, sastra, politik dan
agama-agama dunia. Pengetahuan Gus Dur melampaui sekat-sekat primordialisme. Ia
membaca dengan lahap dan menyerap dengan riang pikiran-pikiran para tokoh dunia,
klasik maupun modern, tanpa melihat asal usul dan keyakinan mereka. Gus Dur
bukan hanya memahami semuanya itu dengan sangat baik tetapi juga mengapresiasi dengan sepenuh hati.
Sebagai
ikon, symbol atau kode, Gus Dur dimaknai secara beragam dan warna warni. Selalu
ada yang mengagumi dan dalam waktu yang sama ada pula yang mengecamnya, tetapi
ada juga yang diam, tak paham dan kebingungan. Ikon selalu menyimpan kebesaran,
dan Gus Dur adalah tokoh besar dalam dunia Islam. Namanya dikenal di banyak
tempat di dunia. Sebagian menempelkan namanya dalam karya arsitektur atau jalan
raya. Seperti tokoh besar pada umumnya, pikiran dan gagasannya acap mengejutkan
dan membingungkan banyak orang. Ia dianggap sering menyampaikan pikiran-pikiran
yang kontroversial dan inkonsisten. Teramat banyak para pengkaji Gus Dur,
apalagi masyarakat pada umumnya, terperangkap dalam kegalauan yang luar biasa
untuk bisa menangkap dan memahami pikiran-pikiran, gagasan-gagasan dan
langkah-langkahnya yang controversial itu. Kegalauan ini tampaknya bukan hanya
karena Gus Dur memiliki pandangan yang beragam, berwarna dan berbeda-beda atas
masalah yang sama. Inskonsistensinya juga
bukan karena dia ingin memuaskan semua pihak dengan kualitas intelektual yang
beragam dan bertingkat, meskipun mungkin saja demikian. Alih-alih dia punya hasrat ingin dikenal dan popular
sebagaimana dikatakan dengan sinis oleh sebagian orang. “Khalif Tu’raf”,
berbedalah, engkau pasti popular, kata mereka, kata yang pernah diarahkan
kepada Cak Nur. Gus Dur yang controversial itu boleh
jadi lebih karena dia sendiri mengalami pergulatan intelektual dalam dirinya
tanpa bisa dihentikan. Pikirannya terus saja berjalan, menjelajah dan mengejar-ngejar
setiap waktu dan dalam kadar yang sangat dinamis, sejalan dengan gerak
kehidupan umat manusia. Pikirannya
selalu ingin menjadi. Situasi-situasi
ini menghadirkan kenyataan-kenyataan yang berubah dan berkembang. Atau mungkin juga karena Gus Dur,
seolah tak sabar, ingin mempersembahkan pengetahuannya bagi perubahan social
yang dikehendaki. Yakni sebuah wujud
social yang adil dan sejahtera, sebelum masyarakat siap
menerimanya. Tidaklah mengherankan jika, karena itu, tidak sedikit orang sering
menyebut pikiran dan gagasan Gus Dur melampaui zamannya. Banyak orang tidak
memahami jalan pikirannya ketika ia disampaikan. Tetapi dengan berjalannya
waktu dan kehidupan makin cerdas, pikiran-pikiran itu baru dapat dipahami. Ini
bagi saya memperlihatkan tanda seorang “hakim” (arif, bijak bestari), seorang
sufi atau “wali’ sebagaimana 9 wali
sanga dalam konteks Indonesia. Mengenai pelampauan atau lompatan pikirannya yang mendahului
zamannya itu
saya ingin mengutip syair seorang sufi besar yang nama dan pikirannya sering
disebut Gus Dur, Ibnu Athaillah al-Sakandari :
تَسْبِقُ اَنْوَارُ
الْحُكَمَاءِ أَقْوَالَهُمْ فَحَيْثُ صَارَ التَّنْوِيْرُ وَصَلَ التَّعْبِيْرُ
“Cahaya para bijak bestari mendahului kata-katanya. Ketika batin
telah tercerahkan, kata-kata mereka sampai”.[1]
Inkonsistensi Gus
Dur bagi saya adalah hanya pada isu-isu particular, dan ini adalah situasi yang
wajar dan selalu dihadapi oleh siapa saja. Imam al-Ghazali, misalnya,
pemikir, teolog, ahli hukum dan sufi
besar yang sering disalahpahami dan dianggap atau bahkan dikecam banyak orang
sebagai tokoh paling inkonsisten. Dia mengkritik dan menyerang para filosof di
satu sisi dan mengapresiasi logika Aristotelian pada sisi lain. Sekali lagi,
hal ini terjadi karena selalu dia harus dalam situasi yang berubah-ubah, audien
yang berbeda-berbeda dan hal-hal lain yang memaksanya untuk bicara dengan bijak.
Akan tetapi dia sungguh-sungguh konsisten pada tujuannya, yaitu menghidupkan
dunia kemanusiaan, melalui beragam cara, dan langkah: antara lain penegakan
hak-hak Asasi Manusia, Pluralisme, Demokrasi dan puncaknya adalah Cinta.
Cirebon,
250913
*Diambil dari buku : Sang Zahid;
Mengarungi Sufisme Gus Dur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar