Senin, 30 Desember 2013

GUS DUR BUKAN INI BUKAN ITU

GUS DUR BUKAN INI BUKAN ITU

Sahabat saya Marzuki Wahid, penulis buku Beyond the Symbols, Jejak Antropoligis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, dalam sebuah moment refleksi 100 tokoh atas Gus Dur, di Institute Agama Islam Nur Jati (IAIN), Cirebon, menyampaikan kata reflektif yang mendebarkan: “Gus Dur bukanlah “Guru Bangsa”, bukan “Bapak Pluralisme”, bukan “Ulama”, bukan “Seorang Humanis sejati”, bukan “Bapak Demokrasi”, bukan “Negarawan Paripurna”, bukan “Waliyullah” dan bukan seterusnya. Sampai di sini, hati yang hadir berdegup-degup kencang, tersekat-sekat. “Ini anak tak tahu diri dan keterlaluan”, kata hati mereka, sambil menahan emosi. “Tetapi Gus Dur adalah semuanya”, kata Marzuki Wahid menuntaskan bicaranya. Dan suasana spontan berubah gemuruh, menghentikan jantung yang berdegup, meredakan emosi yang tertahan, lalu menciptakan suasana yang mengharu-biru, mengalirkan kehangatan air mata yang lalu menetes pelan-pelan.

KATA-KATA

Kata-kata tidaklah mengatakan (memaknai) sendiri,
aspek situasi psikologi dan pengetahuan pembacanya lah yang memaknainya.

Imam al-Syafi’i mengatakan :

Tatapan bola mata yang mencinta
selalu buta akan buruk rupa wajah si dia
Tetapi sorot mata yang membenci
Melihat si dia buruk rupa saja adanya
(Diwan a-Syafi’i)

وَعَيْنُ الرِّضَا عَنْ كُلِّ عَيْبٍ كَلِيْلَةٌ ولكَنَّ عَيْنَ السُّخْطِ تُبْدِى المسَاوِىَا

Jumat, 29 November 2013

Persahabatan



PERSAHABATAN

Mungkin ini adalah cerita yang aneh dan tak disetujui banyak orang. Tetapi ia diceritakan oleh Imam al-Ghazali dalam buku masterpiece nya: Ihya Ulum al-Din.

Ada dua orang laki-laki bersahabat. Keduanya sepakat untuk meninggalkan hiruk-pikuk kehidupan dunia, dan akan hidup menyepi di lereng gunung : mengabdi kepada Tuhan. Suatu hari salah satu dari mereka turun ke kota untuk membeli daging. Di tengah jalan ia bertemu dengan seorang pelacur (PSK). Ia terpesona. Jantungnya berdebar penuh hasrat, lalu mengajaknya pergi ke tempat sepi untuk melepaskan hasratnya. Ia menghabiskan waktu tiga malam dengan sang pelacur itu. Sesudah itu ia tersadar, dan timbul rasa malu yang begitu kuat untuk kembali kepada saudaranya. Ia tak ingin menemuinya.
Sahabatnya di lereng gunung merasa rindu dan kuatir. Ia lalu turun ke kota mencari sang sahabat, dan setelah bertanya ke sana ke mari tentang keberadaannya, ia menemukannya dalam keadaan seperti “orang asing”. Ia berusaha memeluknya dengan rasa riang dan meneguhkan hatinya. Tapi sang sahabat yang malang itu menolaknya dan malahan mengaku tidak mengenalnya : “kau bukan sahabatku, aku tak mengenalmu”. Hatinya malu tak terkira dan merasa rendah. Lalu sahabatnya berkata: “Marilah saudaraku, aku mengerti keadaanmu, aku sudah tahu ceritamu. Kau tidak pernah kucintai dan kusayangi lebih daripada saat ini”. Manakala sang sahabat yang merasa malu itu menyadari bahwa apa yang telah diperbuatnya tidak dipandang rendah sahabatnya, iapun bangkit dan siap pergi bersamanya, pulang”.
Imam al-Ghazali mengatakan : “Ini adalah salah satu cara sebagian orang untuk menyelamatkan sahabat. Cara ini lebih lembut dan lebih cerdas, dibandingkan dengan cara lain, sebagaimana dilakukan sebagian orang yang lain (menceraikan persahabatan dan membencinya). Cara sahabat di atas lebih baik dan lebih menyelamatkan”. (Imam al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Juz II, hlm. 184).
Cirebon, 291113

قصة اسرائيليات
وروى فى الاسرائيليات أن أخوين عابدين كان فى جبل . نزل احدهما ليشترى من المصر لحما بدرهم فرأى بغيا عند اللحام فرمقها وعشقها واجتذبها الى خلوة وواقعها .ثم أقام عندها ثلاثا واستحيا ان يرجع الى أخيه حياء من جنايته . قال : فافتقده اخوه واهتم بشأنه فنزل الى المدينة فلم يزل يسأل عنه حتى دل عليه فدخل اليه وهو جالس معها فاعتنقه وجعل يقبله ويلتزمه, وانكر الاخر انه يعرفه قط لفرط استحيائه منه. فقال : قم يا أخى فقد علمت وقصتك وما كنت قط أحب الي واعز من ساعتك هذه . فلما رأى أن ذلك لم يسقطه من عينه قال فانصرف معه. فهذه طريقة قوم وهو الطف و أفقه من طريقة أبى ذر رضى الله عنه , وطريقته أحسن وأسلم.
الامام الغزالى, احياء علوم الدين , جزء 2 ص 184)

Jumat, 08 November 2013

MASIH HIJRAH

Masih kisah Hijrah Nabi.
Goa tempat Nabi dan Abu bakar bersembunryi dari kejaran kafir Quraisy yang marah tak terperikan, begitu kotor. Mungkin tak pernah ada kaki yang menginjakkan tanah di luar maupun di dalamnya. Nabi tampak begitu lelah setelah berjalan cukup panjang, melewati jalan yang jarang dilangkahi kaki orang. Abu Bakar menyediakan tubuhnya memangku kepala Nabi. Tak dinyana, kelabang, binatang berkaki seribu, merambat diam-diam di kaki telanjang Abu Bakar, lalu menggigitnya keras-keras. Ia menahan sakit, dan membiarkan kakinya tak boleh bergerak. Giginya ditekan kuat-kuat. Ia tak ingin Nabi terbangun. Kaget. Tetapi air matanya yang mengembang karena rasa sakit yang tertahan itu menetesi pipi Nabi. Nabi membuka matanya dan bertanya: “mengapa engkau menangis, sahabatku?”. Dan Abu Bakar bilang: “tidak apa-apa, teruskanlah istirahatmu, biar aku menjagamu, kasihku ”, katanya.

Kau pindah demi izin Tuhan
menyusuri jalan sunyi
Bersama sahabat setiamu
Yang jiwanya terbimbing budi luhur

Dialah Abu Bakar
Kisahnya diceritakan
Tuhan segala langit
Dalam kitab suci al-Qur’an

هاجرت لله تطوي البيد مصطحبا ً
خلاً وفـــيـاً .. كريم النفس هاديها

هــــو الإمـــام أبو بكـــر وقصتــه
رب السماوات في القرآن يرويها

HIJRAH (Bag. Ketiga. Habis)



HIJRAH (Bag. Tiga. Habis)
4 November 2013 pukul 23:45
HIJRAH
(Bag. Ketiga)


Keluar Rumah Menuju Gua


Dini hari, hari Kamis, 1 Rabi’ al awwal /13 september 622 M, usai shalat malam dan berdo’a Nabi yang mulia itu membuka pintu pelan-pelan dan melangkah keluar dengan ketenangan yang penuh. Ia sangat yakin Tuhan dibelakang dan bersamanya. Di luar rumah, Nabi tak melihat siapa-siapa, tak ada orang, sepi. Matanya menyusuri dan menyapu ruang-ruang sekitar sejauh pandangan matanya. Nabi mengambil tanah yang ada di depan rumah, lalu menebarkannya sambil bergumam lirih : “semoga dinding-dinding di sekita ini menutupi mata mereka”.  Nabi terus melangkah, menemui Abu Bakar yang seperti tak sabar dan cemas, untuk selanjutnya bersama-sama menuju gunung Tsaur (Banteng). Para pembunuh begitu amat kecewa; “Muhammad lolos, Muhammad lolos”, teriak mereka.

Tiga hari kedua orang yang saling mengasihi itu berada di dalamnya. Tubuh Abu Bakar bergetar-getar, dengan muka pucat, ketika berpuluh pasang kaki musuh mendekatinya. Ia mendengar dengan jelas teriakan-teriakan dan hentakan keras kaki-kaki kuda yang mendekat ke arah gua. Ia hanya berdua di dalam gua tua itu dan tak ada jalan keluar. Ia melihat kaki-kaki kuda dan kaki-kaki manusia yang hilir mudik. “Jika saja musuh-musuh itu menunduk dan mengarahkan matanya ke dalam gua, pastilah tammat sudah riwayat dirinya dan Muhammad, orang yang sangat dicintainya”, katanya dalam hati. Sementara Nabi seperti biasanya menghadapi keadaan sesulit apapun, tetap tenang. Beliau melihat dengan jelas kecemasan sahabatnya itu, lalu berusaha menenangkannya. Katanya dengan penuh kasih: “Sahabat, janganlah bersedih hati, Tuhan bersama kita”. Mereka berdua lepas dari pengejaran para pembunuh. Nyawa mereka berdua dijaga Tuhan. Esoknya mereka keluar dari gua itu untuk melanjutkan perjalanan menuju Madinah dan bertemu dengan rakyat di sana yang sudah lama merindukan kehadirannya.

Tiba di Madinah

Ketika Nabi memasuki pintu Madinah, 24 september 622 M, perempuan-perempuan kota itu berbaris untuk menyambutnya dengan suka cita sambil bernyanyi dan menari riang :


طَلَعَ الْبَدْرُ عَلَيْنَا   مِنْ ثَنِيَّةِ الْوَدَاعِ
وَجَبَ الشُّكْرُ عَلَيْنَا    مَا دَعَا لِلَّهِ دَاعٍ 
أَيُّهَا الْمَبْعُوثُ فِينَا  جِئْتَ بِالْأَمْر الْمُطَاعِ
 جِئْتَ شَرَّفْتَ الْمَدِيْنَة  مَرْحَباً يَا خَيْرَ دَاعٍ
                        

 “O, Purnama telah hadir di tengah kita
Dari lembah, bukit Wada
Ayo kita berterima kasih pada Tuhan

Aduhai utusan Tuhan
Kau telah datang
Membawa urusan yang diharap-harap
Kau telah datang
Kau muliakan kota ini
Selamat Datang
O, pembimbing terbaik
Selamat Datang


Di tengah kerumunan manusia yang berharap-harap cemas, tiba-tiba seseorang berteriak : “Hai Bani Qailah, itu dia, orang yang kalian tunggu-tunggu telah datang. Lihatlah, lihatlah”. Nabi dan Abu Bakar tetap di atas untanya yang berjalan dengan tenang. Wajah mereka sumringah. Tetapi para penduduk Madinah itu bingung, mana di antara dua orang penunggang unta itu yang bernama Muhammad. “Yang mana Muhammad, yang mana Muhammad”. Abu Bakar membaca pikiran mereka, lalu segera memayungkan jubahnya di atas kepala Nabi, dan kini mereka tahu mana Nabi mereka yang dirindukan itu.

Hampir sepuluh tahun Nabi di kota yang berpendar cahaya ini. Ia mengganti nama kota itu. Semula ia disebut “yatsrib”, yang berarti tercela, buruk. Nabi kemudian mengubahnya menjadi “Al-Madinah Al-Munawwarah”, kota yang bersinar. Ia  membangun kota itu menjadi pusat peradaban. Di kota ini Nabi mendeklarasikan “Al-Huquq al-Insaniyah al-‘Alamiyyah” (Hak-hak Asasi Manusia Universal), yang disebutnya sebagai “Shahifah al-Madinah”.  Dari kota inilah cahaya matahari dan bulan purnawa berpendar menyinari langit jagat raya manusia.

Tetapi ia rindu kembali ke kampungnya di Makkah. Ia pun pergi bersama beribu sahabatnya. Abu Sufyan, tokoh sentral Quraisy, bersama para pengikutnya gentar. Wajah mereka pucat pasi, seperti tanpa darah. Nabi mengerti bagaimana isi dada dan pikiran mereka. Kepada mereka Nabi dengan suara tenang penuh wibawa mengatakan : “Kalian bebas. Kalian boleh pergi ke mana saja dengan aman dan damai”.

Damai dan Sejahteralah wahai Muhammad, Kekasih Tuhan.
Dunia berhutang budi padamu
Damai dan Sejahteralah, wahai Sang Pembimbing
Dunia berterima kasih tak terbatas dan tak berbatas waktu kepadamu

HIJRAH (Bag. Kedua)



HIJRAH
(Bag.Kedua)


Detik-Detik Menegangkan  
  
Jibril segera hadir di kamar Nabi dan membisikinya soal rencana pembunuhan itu. Syeikh Yusuf al Nabhani mengenai ini mengungkapkan peristiwa ini dalam puisi Na’tiyahnya begini : 

وَاَتَاهُ بِمَكْرِهِمْ جِبْرِيْلُ     فَبَدَا كَيْدُهُمْ وَخَابَ الدَّهَاءُ 

“Dan karena makar mereka, Jibril datang
Mereka gagal total
dan politisi cerdas mereka hilang akal”
(Al-Majmu’ah al-Nabhaniyyah)

Tuhan segera mengizinkan beliau hijrah ke Yatsrîb (kini bernama Madinah). Nabi sendiri sesungguhnya merasa begitu berat meninggalkan tanah kelahirannya itu. Tetapi nyawa manusia begitu berharga. Ia selalu menyaksikan betapa banyak nyawa dan derita manusia, sahabat-sahabatnya, yang terancam, gara-gara mengikutinya. Ia ingin agar tak ada lagi nyawa melayang sia-sia dan agar mereka tak lagi menderita. Perjuangan masih panjang. Ia harus meninggalkan kota itu demi keselamatan jiwa-jiwa itu. Tetapi lebih dari itu adalah menyelamatkan kebebasan, keimanan dan menyebarkan risalah Tuhan yang universal dan maha penting.

Sebelum meninggalkan rumahnya, Nabi menatap Ka’bah yang berdiri gagah di lembah yang menjorok tajam dan bukit-bukit batu cadas di sekeliling Makkah dengan hati mengharubiru. Ia begitu mencintai tempat kelahirannya, tempat bermain dan menggembala domba ketika kanak dan remaja. Ia mengingat dengan penuh, sahabat-sahabat yang mengalamai penyiksaan, penderitaan dan kelaparan yang tak tertahankan,sambil mendoakan mereka kedamaian dan kebahagiaan di akhirat, di sisi Tuhan. Tuhan memang sudah menjanjikan hal ini. Kata-Nya :

فَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَأُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأُوذُوا فِي سَبِيلِي وَقَاتَلُوا وَقُتِلُوا لَأُكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَلَأُدْخِلَنَّهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ثَوَابًا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ .وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الثَّوَابِ.

“Maka orang-orang yang berhijrah,  yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada Jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pasti akan Aku maafkan kesalahan-kesalahan mereka, dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala dari Allah. Dan pada sisi Allah pahala yang baik”.(Q.S.[3]:195).

Ia juga mendoakan keselamatan bagi sahabat-sahabatnya yang sudah lebih dahulu meninggalkan Makkah (hijrah). Ia mengetahui, kini, dirinya hanya bersama sahabat setianya: Abu Bakar al-Shiddiq dan sepupunya; Ali bin Abi Thalib, serta beberapa orang saja yang diminta menemaninya.

Dengan mata basah, beliau menyampaikan kata pamit:

“O, Makkah yang anggun
Aku mencintaimu seluruh
Jika saja tidak karena pendudukmu terus mengganggu,
Aku tidak akan meninggalkanmu.

O, Ka’bah yang penuh pesona
Betapa mulianya engkau.
Jika saja tidak karena darah yang terus mengalir
Aku tidak akan ingin berpisah dengamu,
Selamanya, selamanya.
Tetapi aku kini harus pergi, harus pergi
Aku harus menyelamatkan nyawa manusia”.

Langit merah saga beringsut menjadi temaram lalu gulita. Makkah sunyi, senyap, sepi, bagai kota mati. Langit murung. Dunia menunggu dengan dada berdegup-degup. Para pengikut Nabi telah meninggalkan Makkah beberapa hari sebelumnya, menuju Habasyah, Etiopia. Sebagian ke Yatsrib.  Yang tersisa hanyalah Nabi, Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib. Beberapa hari sebelumnya mereka bertiga membicarakan langkah dan strategi bagaimana agar Nabi keluar dari rumah pada malam hari dengan selamat, dan lepas dari pembunuhan kafir Quraisy.  Selain mereka,  ada beberapa orang yang diminta membantu. Abu Bakar meminta putranya; Abdullah, untuk menyusup ke dalam kelompok Quraisy guna memperoleh informasi rencana mereka, kemudian melaporkannya kepada ayahnya. Pekerja rumah tangganya ; Amir bin Fahirah, diminta menggembalakan kambing-kambingnya di jalur-jalur antara Makkah dan Gua Tsaur. Lalu ternak-ternak itu akan mengapus jejak-jejak kaki Nabi dan Abu Bakar. Asma, putri Abu Bakar, diminta mengantar makanan pada malam hari. Dan Abdullah bin Arqath, seorang musyrik yang jujur, terpercaya, diminta menyiapkan unta yang akan digunakan Nabi dan Abu Bakar menuju Madinah.  

Para pembunuh diminta mengasah pedangnya hingga tajam setajam-tahamnya. Mereka juga diinstruksikan tidur lebih awal, lebih sore, agar tengah malam bisa bangun, segar, tak mengantuk. Sementara itu, Abu Bakar, menunggu dalam cemas di balik batu-batu di seberang rumah Nabi, seperti yang sudah disepakati bersama Nabi. Ali, anak pamannya, sudah sampai di rumah Nabi, lalu masuk ke kamarnya dan segera mengambil selimut yang biasa dipakai beliau, pupunya itu. Ia diminta Nabi tidur di atas tikar-tidurnya. Dan Nabi Saw, seperti biasanya, mengambil air wudhu, shalat dan berdo’a dengan seluruh getaran jiwanya. Di pihak lain, para pembunuh berpencar, merunduk di semak-semak di sekeliling rumah itu. Kepala mereka dibungkus dengan menyisakan mata, dan mata itu diminta tak berpaling dan tak berkedip, mengawasi rumah Nabi. Mereka merasa pasti Nabi ada di dalam rumah, sesudah melihat Nabi mondar-mandir di dalamnya.  Pedang sudah diasah berjam-jam sejak siang, hingga rambut licin bisa ditebasnya, begitu tajam. Mereka menunggu bunyi pluit dari sang komandan. Dengan satu kali “pluit komando”, mereka secara serentak bangkit, melompat dan bergerak dengan cepat lalu mendobrak rumah itu dan menghunuskan pedangnya untuk ditebaskan ke leher dan tubuh Nabi secara bersama-sama. Begitu kira-kira yang diinstruksikan kepada mereka.

HIJRAH (Bag. Pertama)



HIJRAH 
(Bag. Pertama)
“Jiwa yang telah mencapai kematangan spiritual, gangguan apapun tak akan menggoyahkannya, dan bantuan eksternal tak lagi diperlukan, karena dia ada dalam Genggaman-Nya.” 
“Sahabat, jangan bersedih hati, Tuhan selalu bersama kita”
(Nabi Muhammad)


Dari sebuah gua yang sepi, senyap dan pengap, Nabi Muhammad tampil dengan senyum dan percaya diri. Tuhan melalui Jibril telah membisikinya pesan-pesan profetik yang harus disampaikannya kepada dunia yang tengah sekarat dan dalam kegelapan yang pekat. Tuhan memproklamirkannya sebagai kekasih, Nabi dan utusan-Nya. Muhammad bin Abdillah melangkah sendirian setapak demi setapak tetapi pasti dan tanpa gentar, menghadapi masyarakat pegunungan tandus yang disebut al-Qur’an sebagai “Asyadd Kufran wa Nifaqan” (keras kepala dan hipokrit). Dia juga telah siap menghadapi para jagoan Makkah, seperti Umar bin Khattab, Abu Jahal, Abu Lahab dan lain-lain. Orang-orang ini adalah para jawara yang paling ditakuti penduduk tanah kering kerontang. Kejujuran kata-kata putra Abdullah itu, keramahan yang penuh dan senyuman manis yang selalu ditampilkannya telah meluluhkan hati satu demi satu orang. Umar, sang jagoan itu pada akhirnya juga menemui Nabi dan bersimpuh di hadapannya sambil bersumpah setia kepadanya serta menyatakan siap, kapan dan di manapun, membelanya meski dengan mempertaruhkan nyawanya sekalipun. Sudah lama Nabi berdo’a agar dia atau Abu Jahal, yang juga bernama Amr bin Hisyam, jagoan lainnya, tertarik kepadanya.
اللّهُمَّ أَعِزَّ الْاسْلاَمَ بِأَحَدِ الْعُمَرَيْنِ

“Allahumma A’izz al-Islam bi Ahad al-Umarain” (Wahai Tuhan, perkuat Islam dengan salah satu orang ini : Umar bin Khattab atau ‘Amr bin Hisyam).

Tiga belas tahun lamanya Nabi Muhammad saw menawarkan gagasan profetik-humanistik ke hadapan dunia manusia. Ia menyerukan kaumnya di Makkah untuk beriman kepada Allah. “Hai manusia, hanya Tuhan saja yang seharusnya kalian sembah, yang kalian agungkan dan yang kalian puja-puji, bukan yang lain dari Dia”, ujarnya setiap saat. Sejumlah orang mengikuti seruannya, tetapi masih lebih banyak lagi yang menentangnya. Sebagian dari mereka menyebut Muhammad sebagai : “orang sinting”, “orang gila”, “penyebar bid’ah”, “tukang sihir”, “pengacau”, dan lain-lain. Tetapi sebagian lain menyebutnya sebagai “orang yang paling terpercaya”, “orang yang paling kasih”, orang yang paling indah”, dll.

Kehadiran Nabi dengan gagasan monoteistik itu dalam pikiran Abu Jahal, Abu Lahab, Umayyah bin Khalaf dan para elit politik lainnya telah mengganggu ketenangan tradisi, mengancam kekuasaan status quo dan menghancurkan kenikmatan previlase-previlase sosial. Mereka memprovokasi massa yang dibodohi untuk memusuhi dan menyerang Nabi. Maka penindasan demi penindasan terhadap Nabi dan pengikutnya terus berlangsung, setiap hari, setiap saat dan dengan segala cara; merayu, mengancam, meneror, kekerasan fisik, sampai politik isolasi berbulan.

Menjelang tahun ketiga belas misi profetiknya, para penentang Nabi sudah kehabisan akal dan kehilangan cara untuk menghentikan gerakan dakwah Nabi. Di Dâr al-Nadwah, semacam balai sidang/musyawarah, mereka berembuk. Suara hingar-bingar dan meledak-ledak penuh emosi kemarahan dan dendam kesumat memenuhi ruang itu. Berbagai usulan muncul. Al-Bukhturi (anggota) mengusulkan “Muhammad harus dirantai besi dan dijebloskan ke penjara”. Abu Aswad (anggota) berpendapat : “Muhammad harus diusir dari kota Makkah ke tempat yang jauh”. Abu Jahal (ketua) mengacungkan tangannya. “Kalian dengarkan usulanku. Muhammad harus dibunuh beramai-ramai. Untuk keperluan ini kita ambil dari setiap kabilah seorang pemuda yang gagah perkasa. Jika Bani Abdi Manaf, klan Muhammad, menuntut balas atas kematian Muhammad, kita siapkan tebusan. Sekian”.  

Dua usulan pertama ditolak rapat. Keputusan akhir kemudian diambil, menyetujui usulan Abu Jahal: Muhammad harus dihabisi  ramai-ramai, malam hari. Jika klan Muhammad menuntut darahnya, mereka akan mengumpulkan uang tebusan yang akan diberikan kepada keluarganya. Cara ini telah menjadi tradisi berabad di daerah itu. Dengan begitu Arabia akan kembali tenang. Para pembesar Quraisy yang angkuh itu akan bisa kembali mengeksploitasi rakyatnya dan menikmati tubuh-tubuh perempuan tanpa batas jumlah.

Al-Qur’an merekam peristiwa ini :

وَإذْ يَمْكُرُ بِكَ الَّذِينَ كَفَرُواْ لِيُثْبِتُوكَ أَوْ يَقْتُلُوكَ أَوْ يُخْرِجُوكَ وَيَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ اللّهُ وَاللّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ }الأنفال30


“Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya”.

Sumber : Buku : “Menyusuri Jalan Cahaya”