Jumat, 08 November 2013

HIJRAH (Bag. Ketiga. Habis)



HIJRAH (Bag. Tiga. Habis)
4 November 2013 pukul 23:45
HIJRAH
(Bag. Ketiga)


Keluar Rumah Menuju Gua


Dini hari, hari Kamis, 1 Rabi’ al awwal /13 september 622 M, usai shalat malam dan berdo’a Nabi yang mulia itu membuka pintu pelan-pelan dan melangkah keluar dengan ketenangan yang penuh. Ia sangat yakin Tuhan dibelakang dan bersamanya. Di luar rumah, Nabi tak melihat siapa-siapa, tak ada orang, sepi. Matanya menyusuri dan menyapu ruang-ruang sekitar sejauh pandangan matanya. Nabi mengambil tanah yang ada di depan rumah, lalu menebarkannya sambil bergumam lirih : “semoga dinding-dinding di sekita ini menutupi mata mereka”.  Nabi terus melangkah, menemui Abu Bakar yang seperti tak sabar dan cemas, untuk selanjutnya bersama-sama menuju gunung Tsaur (Banteng). Para pembunuh begitu amat kecewa; “Muhammad lolos, Muhammad lolos”, teriak mereka.

Tiga hari kedua orang yang saling mengasihi itu berada di dalamnya. Tubuh Abu Bakar bergetar-getar, dengan muka pucat, ketika berpuluh pasang kaki musuh mendekatinya. Ia mendengar dengan jelas teriakan-teriakan dan hentakan keras kaki-kaki kuda yang mendekat ke arah gua. Ia hanya berdua di dalam gua tua itu dan tak ada jalan keluar. Ia melihat kaki-kaki kuda dan kaki-kaki manusia yang hilir mudik. “Jika saja musuh-musuh itu menunduk dan mengarahkan matanya ke dalam gua, pastilah tammat sudah riwayat dirinya dan Muhammad, orang yang sangat dicintainya”, katanya dalam hati. Sementara Nabi seperti biasanya menghadapi keadaan sesulit apapun, tetap tenang. Beliau melihat dengan jelas kecemasan sahabatnya itu, lalu berusaha menenangkannya. Katanya dengan penuh kasih: “Sahabat, janganlah bersedih hati, Tuhan bersama kita”. Mereka berdua lepas dari pengejaran para pembunuh. Nyawa mereka berdua dijaga Tuhan. Esoknya mereka keluar dari gua itu untuk melanjutkan perjalanan menuju Madinah dan bertemu dengan rakyat di sana yang sudah lama merindukan kehadirannya.

Tiba di Madinah

Ketika Nabi memasuki pintu Madinah, 24 september 622 M, perempuan-perempuan kota itu berbaris untuk menyambutnya dengan suka cita sambil bernyanyi dan menari riang :


طَلَعَ الْبَدْرُ عَلَيْنَا   مِنْ ثَنِيَّةِ الْوَدَاعِ
وَجَبَ الشُّكْرُ عَلَيْنَا    مَا دَعَا لِلَّهِ دَاعٍ 
أَيُّهَا الْمَبْعُوثُ فِينَا  جِئْتَ بِالْأَمْر الْمُطَاعِ
 جِئْتَ شَرَّفْتَ الْمَدِيْنَة  مَرْحَباً يَا خَيْرَ دَاعٍ
                        

 “O, Purnama telah hadir di tengah kita
Dari lembah, bukit Wada
Ayo kita berterima kasih pada Tuhan

Aduhai utusan Tuhan
Kau telah datang
Membawa urusan yang diharap-harap
Kau telah datang
Kau muliakan kota ini
Selamat Datang
O, pembimbing terbaik
Selamat Datang


Di tengah kerumunan manusia yang berharap-harap cemas, tiba-tiba seseorang berteriak : “Hai Bani Qailah, itu dia, orang yang kalian tunggu-tunggu telah datang. Lihatlah, lihatlah”. Nabi dan Abu Bakar tetap di atas untanya yang berjalan dengan tenang. Wajah mereka sumringah. Tetapi para penduduk Madinah itu bingung, mana di antara dua orang penunggang unta itu yang bernama Muhammad. “Yang mana Muhammad, yang mana Muhammad”. Abu Bakar membaca pikiran mereka, lalu segera memayungkan jubahnya di atas kepala Nabi, dan kini mereka tahu mana Nabi mereka yang dirindukan itu.

Hampir sepuluh tahun Nabi di kota yang berpendar cahaya ini. Ia mengganti nama kota itu. Semula ia disebut “yatsrib”, yang berarti tercela, buruk. Nabi kemudian mengubahnya menjadi “Al-Madinah Al-Munawwarah”, kota yang bersinar. Ia  membangun kota itu menjadi pusat peradaban. Di kota ini Nabi mendeklarasikan “Al-Huquq al-Insaniyah al-‘Alamiyyah” (Hak-hak Asasi Manusia Universal), yang disebutnya sebagai “Shahifah al-Madinah”.  Dari kota inilah cahaya matahari dan bulan purnawa berpendar menyinari langit jagat raya manusia.

Tetapi ia rindu kembali ke kampungnya di Makkah. Ia pun pergi bersama beribu sahabatnya. Abu Sufyan, tokoh sentral Quraisy, bersama para pengikutnya gentar. Wajah mereka pucat pasi, seperti tanpa darah. Nabi mengerti bagaimana isi dada dan pikiran mereka. Kepada mereka Nabi dengan suara tenang penuh wibawa mengatakan : “Kalian bebas. Kalian boleh pergi ke mana saja dengan aman dan damai”.

Damai dan Sejahteralah wahai Muhammad, Kekasih Tuhan.
Dunia berhutang budi padamu
Damai dan Sejahteralah, wahai Sang Pembimbing
Dunia berterima kasih tak terbatas dan tak berbatas waktu kepadamu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar