HIJRAH
(Bag. Tiga. Habis)
4 November 2013 pukul 23:45
HIJRAH
(Bag. Ketiga)
Keluar Rumah Menuju Gua
Dini hari, hari Kamis, 1 Rabi’ al
awwal /13 september 622 M, usai shalat malam dan berdo’a Nabi yang mulia itu
membuka pintu pelan-pelan dan melangkah keluar dengan ketenangan yang penuh. Ia
sangat yakin Tuhan dibelakang dan bersamanya. Di luar rumah, Nabi tak melihat siapa-siapa,
tak ada orang, sepi. Matanya menyusuri dan menyapu ruang-ruang sekitar sejauh
pandangan matanya. Nabi mengambil tanah yang ada di depan rumah, lalu
menebarkannya sambil bergumam lirih : “semoga dinding-dinding di sekita ini
menutupi mata mereka”. Nabi terus melangkah, menemui Abu Bakar yang
seperti tak sabar dan cemas, untuk selanjutnya bersama-sama menuju gunung Tsaur
(Banteng). Para pembunuh begitu amat kecewa; “Muhammad lolos, Muhammad lolos”,
teriak mereka.
Tiga hari kedua orang yang saling
mengasihi itu berada di dalamnya. Tubuh Abu Bakar bergetar-getar, dengan muka
pucat, ketika berpuluh pasang kaki musuh mendekatinya. Ia mendengar dengan
jelas teriakan-teriakan dan hentakan keras kaki-kaki kuda yang mendekat ke arah
gua. Ia hanya berdua di dalam gua tua itu dan tak ada jalan keluar. Ia melihat
kaki-kaki kuda dan kaki-kaki manusia yang hilir mudik. “Jika saja musuh-musuh
itu menunduk dan mengarahkan matanya ke dalam gua, pastilah tammat sudah
riwayat dirinya dan Muhammad, orang yang sangat dicintainya”, katanya dalam
hati. Sementara Nabi seperti biasanya menghadapi keadaan sesulit apapun, tetap
tenang. Beliau melihat dengan jelas kecemasan sahabatnya itu, lalu berusaha
menenangkannya. Katanya dengan penuh kasih: “Sahabat, janganlah bersedih hati,
Tuhan bersama kita”. Mereka berdua lepas dari pengejaran para pembunuh. Nyawa
mereka berdua dijaga Tuhan. Esoknya mereka keluar dari gua itu untuk
melanjutkan perjalanan menuju Madinah dan bertemu dengan rakyat di sana yang
sudah lama merindukan kehadirannya.
Tiba di Madinah
Ketika Nabi memasuki pintu Madinah,
24 september 622 M, perempuan-perempuan kota itu berbaris untuk menyambutnya
dengan suka cita sambil bernyanyi dan menari riang :
طَلَعَ الْبَدْرُ عَلَيْنَا مِنْ ثَنِيَّةِ الْوَدَاعِ
وَجَبَ الشُّكْرُ عَلَيْنَا
مَا دَعَا لِلَّهِ دَاعٍ
أَيُّهَا الْمَبْعُوثُ فِينَا جِئْتَ بِالْأَمْر الْمُطَاعِ
جِئْتَ شَرَّفْتَ الْمَدِيْنَة مَرْحَباً يَا خَيْرَ دَاعٍ
“O, Purnama telah hadir di
tengah kita
Dari lembah, bukit Wada
Ayo kita berterima kasih pada Tuhan
Aduhai utusan Tuhan
Kau telah datang
Membawa urusan yang diharap-harap
Kau telah datang
Kau muliakan kota ini
Selamat Datang
O, pembimbing terbaik
Selamat Datang
Di tengah kerumunan manusia yang
berharap-harap cemas, tiba-tiba seseorang berteriak : “Hai Bani Qailah, itu
dia, orang yang kalian tunggu-tunggu telah datang. Lihatlah, lihatlah”. Nabi
dan Abu Bakar tetap di atas untanya yang berjalan dengan tenang. Wajah mereka
sumringah. Tetapi para penduduk Madinah itu bingung, mana di antara dua orang
penunggang unta itu yang bernama Muhammad. “Yang mana Muhammad, yang mana
Muhammad”. Abu Bakar membaca pikiran mereka, lalu segera memayungkan jubahnya
di atas kepala Nabi, dan kini mereka tahu mana Nabi mereka yang dirindukan itu.
Hampir sepuluh tahun Nabi di kota
yang berpendar cahaya ini. Ia mengganti nama kota itu. Semula ia disebut
“yatsrib”, yang berarti tercela, buruk. Nabi kemudian mengubahnya menjadi
“Al-Madinah Al-Munawwarah”, kota yang bersinar. Ia membangun kota itu
menjadi pusat peradaban. Di kota ini Nabi mendeklarasikan “Al-Huquq
al-Insaniyah al-‘Alamiyyah” (Hak-hak Asasi Manusia Universal), yang disebutnya
sebagai “Shahifah al-Madinah”. Dari kota inilah cahaya matahari dan bulan
purnawa berpendar menyinari langit jagat raya manusia.
Tetapi ia rindu kembali ke
kampungnya di Makkah. Ia pun pergi bersama beribu sahabatnya. Abu Sufyan, tokoh
sentral Quraisy, bersama para pengikutnya gentar. Wajah mereka pucat pasi,
seperti tanpa darah. Nabi mengerti bagaimana isi dada dan pikiran mereka.
Kepada mereka Nabi dengan suara tenang penuh wibawa mengatakan : “Kalian bebas.
Kalian boleh pergi ke mana saja dengan aman dan damai”.
Damai dan Sejahteralah wahai Muhammad,
Kekasih Tuhan.
Dunia berhutang budi padamu
Damai dan Sejahteralah, wahai Sang
Pembimbing
Dunia berterima kasih tak terbatas
dan tak berbatas waktu kepadamu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar