Jumat, 08 November 2013

HIJRAH (Bag. Kedua)



HIJRAH
(Bag.Kedua)


Detik-Detik Menegangkan  
  
Jibril segera hadir di kamar Nabi dan membisikinya soal rencana pembunuhan itu. Syeikh Yusuf al Nabhani mengenai ini mengungkapkan peristiwa ini dalam puisi Na’tiyahnya begini : 

وَاَتَاهُ بِمَكْرِهِمْ جِبْرِيْلُ     فَبَدَا كَيْدُهُمْ وَخَابَ الدَّهَاءُ 

“Dan karena makar mereka, Jibril datang
Mereka gagal total
dan politisi cerdas mereka hilang akal”
(Al-Majmu’ah al-Nabhaniyyah)

Tuhan segera mengizinkan beliau hijrah ke Yatsrîb (kini bernama Madinah). Nabi sendiri sesungguhnya merasa begitu berat meninggalkan tanah kelahirannya itu. Tetapi nyawa manusia begitu berharga. Ia selalu menyaksikan betapa banyak nyawa dan derita manusia, sahabat-sahabatnya, yang terancam, gara-gara mengikutinya. Ia ingin agar tak ada lagi nyawa melayang sia-sia dan agar mereka tak lagi menderita. Perjuangan masih panjang. Ia harus meninggalkan kota itu demi keselamatan jiwa-jiwa itu. Tetapi lebih dari itu adalah menyelamatkan kebebasan, keimanan dan menyebarkan risalah Tuhan yang universal dan maha penting.

Sebelum meninggalkan rumahnya, Nabi menatap Ka’bah yang berdiri gagah di lembah yang menjorok tajam dan bukit-bukit batu cadas di sekeliling Makkah dengan hati mengharubiru. Ia begitu mencintai tempat kelahirannya, tempat bermain dan menggembala domba ketika kanak dan remaja. Ia mengingat dengan penuh, sahabat-sahabat yang mengalamai penyiksaan, penderitaan dan kelaparan yang tak tertahankan,sambil mendoakan mereka kedamaian dan kebahagiaan di akhirat, di sisi Tuhan. Tuhan memang sudah menjanjikan hal ini. Kata-Nya :

فَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَأُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأُوذُوا فِي سَبِيلِي وَقَاتَلُوا وَقُتِلُوا لَأُكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَلَأُدْخِلَنَّهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ثَوَابًا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ .وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الثَّوَابِ.

“Maka orang-orang yang berhijrah,  yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada Jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pasti akan Aku maafkan kesalahan-kesalahan mereka, dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala dari Allah. Dan pada sisi Allah pahala yang baik”.(Q.S.[3]:195).

Ia juga mendoakan keselamatan bagi sahabat-sahabatnya yang sudah lebih dahulu meninggalkan Makkah (hijrah). Ia mengetahui, kini, dirinya hanya bersama sahabat setianya: Abu Bakar al-Shiddiq dan sepupunya; Ali bin Abi Thalib, serta beberapa orang saja yang diminta menemaninya.

Dengan mata basah, beliau menyampaikan kata pamit:

“O, Makkah yang anggun
Aku mencintaimu seluruh
Jika saja tidak karena pendudukmu terus mengganggu,
Aku tidak akan meninggalkanmu.

O, Ka’bah yang penuh pesona
Betapa mulianya engkau.
Jika saja tidak karena darah yang terus mengalir
Aku tidak akan ingin berpisah dengamu,
Selamanya, selamanya.
Tetapi aku kini harus pergi, harus pergi
Aku harus menyelamatkan nyawa manusia”.

Langit merah saga beringsut menjadi temaram lalu gulita. Makkah sunyi, senyap, sepi, bagai kota mati. Langit murung. Dunia menunggu dengan dada berdegup-degup. Para pengikut Nabi telah meninggalkan Makkah beberapa hari sebelumnya, menuju Habasyah, Etiopia. Sebagian ke Yatsrib.  Yang tersisa hanyalah Nabi, Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib. Beberapa hari sebelumnya mereka bertiga membicarakan langkah dan strategi bagaimana agar Nabi keluar dari rumah pada malam hari dengan selamat, dan lepas dari pembunuhan kafir Quraisy.  Selain mereka,  ada beberapa orang yang diminta membantu. Abu Bakar meminta putranya; Abdullah, untuk menyusup ke dalam kelompok Quraisy guna memperoleh informasi rencana mereka, kemudian melaporkannya kepada ayahnya. Pekerja rumah tangganya ; Amir bin Fahirah, diminta menggembalakan kambing-kambingnya di jalur-jalur antara Makkah dan Gua Tsaur. Lalu ternak-ternak itu akan mengapus jejak-jejak kaki Nabi dan Abu Bakar. Asma, putri Abu Bakar, diminta mengantar makanan pada malam hari. Dan Abdullah bin Arqath, seorang musyrik yang jujur, terpercaya, diminta menyiapkan unta yang akan digunakan Nabi dan Abu Bakar menuju Madinah.  

Para pembunuh diminta mengasah pedangnya hingga tajam setajam-tahamnya. Mereka juga diinstruksikan tidur lebih awal, lebih sore, agar tengah malam bisa bangun, segar, tak mengantuk. Sementara itu, Abu Bakar, menunggu dalam cemas di balik batu-batu di seberang rumah Nabi, seperti yang sudah disepakati bersama Nabi. Ali, anak pamannya, sudah sampai di rumah Nabi, lalu masuk ke kamarnya dan segera mengambil selimut yang biasa dipakai beliau, pupunya itu. Ia diminta Nabi tidur di atas tikar-tidurnya. Dan Nabi Saw, seperti biasanya, mengambil air wudhu, shalat dan berdo’a dengan seluruh getaran jiwanya. Di pihak lain, para pembunuh berpencar, merunduk di semak-semak di sekeliling rumah itu. Kepala mereka dibungkus dengan menyisakan mata, dan mata itu diminta tak berpaling dan tak berkedip, mengawasi rumah Nabi. Mereka merasa pasti Nabi ada di dalam rumah, sesudah melihat Nabi mondar-mandir di dalamnya.  Pedang sudah diasah berjam-jam sejak siang, hingga rambut licin bisa ditebasnya, begitu tajam. Mereka menunggu bunyi pluit dari sang komandan. Dengan satu kali “pluit komando”, mereka secara serentak bangkit, melompat dan bergerak dengan cepat lalu mendobrak rumah itu dan menghunuskan pedangnya untuk ditebaskan ke leher dan tubuh Nabi secara bersama-sama. Begitu kira-kira yang diinstruksikan kepada mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar