Rabu, 01 Januari 2014

MAKAM GUS DUR



KETIKA AKU ZIARAH KE GUS DUR

Di atas tanah yang sedikit menonjol itu tampak bunga warna-warni yang masih segar dan menebarkan aroma harum yang sangat khas. Nisan di atas kuburan itu begitu bersahaja dan tanah lempung itu tampak seperti masih basah, seperti ketika tubuh penghuninya baru saja diletakkkan kemarin. Setiap peziarah selalu membawa bunga-bunga itu dan menaburkannya di atas tanah tersebut. Seorang peziarah dengan penuh kekaguman mengatakan: "Saya sudah ziarah ke makam Bung Karno, Pak Harto dan Gus Dur. Tapi makam Gus Dur inilah yang paling sederhana. Padahal almarhum juga seorang presiden, seperti keduanya." Aku bilang: “Jika jasad di dalam kuburan ini hanya ditimbun dengan tanah merah, tanpa bungkusan semen dan tanpa orname apapun, maka itu adalah pesan Gus Dur, ketika ia masih ada, masih sehat. Begitulah yang sempat aku dengar pada suatu hari mengaji di rumahnya. Ia bersahaja, ketika ada dan ketika tiada. Bukan kemegahan bangunan kuburan dan bukan pula lukisan ornament-ornamen bertahtakan emas di atasnya yang membuatnya jadi tempat yang menarik beribu dan berjuta orang untuk datang memberikan penghormatan dan mendoakannya, melainkan ruh dan jiwa yang putih, yang seluruh hidupnya dipersembahkan bagi manusia. Ya, manusia siapapun jua, tanpa membeda-bedakan manusia satu atas manusia yang lain.”
Di atas pusara presiden RI ke IV itu aku menaburkan bunga, lalu bersimpuh di hadapannya membaca surah Yasin, Tahlil dan berdo’a untuk beliau. Di belakang kami, terdapat beberapa rombongan lain yang juga melakukan hal yang sama. Suara kalimat-kalimat suci al-Qur’an dan “La Ilaha Illa Allah” yang diulang berkali-kali (umumnya 100 kali) menciptakan suasana gemuruh bagai genderang dalam simphoni Requim karya Mozart. Sebagian mata peziarah mengembang butir-butir air yang lalu menetes pelan-pelan ke pipi mereka. Ada juga yang memanggil-manggil nama Gus Dur dengan sedikit keras dan berulang-ulang. Ada yang ketika usai tahlil, ingin mengambil tanah kuburan itu, tetapi segera dilarang penjaga yang selalu setia berdiri di sana.

Usai ziarah, aku pamit dan izin kepada Ibu Shinta, untuk memisahkan diri dari rombongan keluarga itu, dan membiarkan mereka singgah istirahat di rumah adiknya :Gus Sholah. Aku segera mengambil jalan yang dilalui masyarakat peziarah. Suasana jalanan dipenuhi warung-warung dan toko-toko yang menjual bang-barang khas di kompleks pemakaman Sunan Gunung Jati atau makam Wali Sanga yang lain : Mushaf al-Qur’an, kumpulan do’a-doa dan Tahlil, surah Yasin, buku-buku Manaqib, kaset-kaset, CD-VCD, tasbih, “Tob” (pakaian Arab), Jubah, Jilbab, sabuk, peci dengan berbagai corak dan modelnya, sajadah, bunga-bunga; mawar, melati, kenanga dan kemboja, minyak wangi dengan aroma khas parfum Arab, dan lain-lain, serta tak lupa kemenyan dan sejenisnya. Jalanan itu menjadi begitu sempit. Di bagian lain dari jalan itu banyak sekali warung makanan dan minuman. “Gus Dur, masih membagi rizki dan kebahagiaan kepada masyarakat, meski dia telah wafat”, kata saya dalam hati. Para wali adalah tokoh-tokoh yang “hadir dalam ketidakhadiran”; mereka bukan hanya sebagai sosok-sosok historis, melainkan sosok yang dirasakan masih hidup dan masih aktif di dunia fana ini. Rohnya masih bersama orang-orang yang mencintai dan dicintainya. Logika memang sering tak paham soal-soal seperti ini. Para penganut pemahaman agama yang literalis juga pasti akan bersungut-sungut, berteriak-teriak menyumpahserapahi khalayak peziarah itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar