Para filsuf mengatakan bahwa kehadiran atau keberadaan kita di dunia ini
adalah proses keterlemparan. Manusia tidak pernah tahu dan mengerti mengapa ia
ada/hadir di sini di tempat ini. Mereka kemudian tak henti-hentinya memikirkan
mau kemana manusia sesudah kehidupan ini?. Dan apa yang harus mereka lakukan
dalam hidup ini.
Berbeda dengan mereka, para ulama Islam dan kaum muslimin dengan tegas
menjawab: “Inna Lillah
wa Inna Ilaihi Raji’un”. (Kita ini miliki dan diciptakan Allah dan kita akan
kembali kepada-Nya). “Wa Ilaihi Yurja’u al-Amru Kulluh” (Dan
kepada-Nyalah segalanya akan kembali). Lalu Allah menyuruh kita menjalani hidup
ini sebaik-baiknya dan kelak, ketika kembali di hadapan Allah, kita akan
dimintai pertanggungjawaban secara sendiri-sendiri atas segala yang kita kerjakan selama
hidup di dunia. Allah berfirman dalam al-Qur’an.
وقُلِ
اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ
وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا
كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan Katakanlah: "Bekerjalah
kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat
pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan
yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu
kerjakan.(Q.S. al-Taubah, [9]:105).
Di
tempat lain Allah mengatakan:
Sesungguhnya,
telinga, mata dan hati,masing-masing akan dimintai pertanggungjawabannya”.
Hidup menurut
Nabi adalah bagaikan sebuah
perjalanan dan setiap orang bagaikan pengembara di belantara raya kehidupan. Ibnu Mas’ud Seorang sahabat Nabi menceritakan kepada kita :
قال
ابن مسعود رضي الله عنه : اِضْطَجَعَ رَسُولُ اللهِ صلى الله
عليه وسلم عَلَى حَصِيْرٍ ، فَأَثَّرَ فِي جَنْبِهِ ، فَلَمَّا اِسْتَيْقَظَ
؛جَعَلْتُ أَمْسَحُ جَنْبَهُ ، فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ الله ! أَلَا آذَنْتَنَا حَتَّى
نَبْسُطَ لَكَ عَلَى الْحَصِيْرِ شَيْئاً ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه
وسلم : مَا لِي
وَلِلدُّنْياَ ؟! مَا أَنَا وَالدُّنْياَ ؟! إِنَّمَا مَثَلِي وَمَثَلُ الدُّنْيَا
كَرَاكَبٍ ظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ، ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا .
“Nabi
tidur di atas tikar. Ketika bangun, tampak di tubuhnya bekas cetakan tikar. Aku
mengatakan: “Wahai Nabi, bolehkah kami ambilkan kasur untukmu?”. Nabi menjawab
: “Apalah artinya aku dan kehidupan di dunia ini. Di sini aku hanyalah bagaikan pengembara yang
bernaung untuk istirahat sementara di bawah pohon.
Sesudah itu berangkat lagi dan meninggalkan tempat itu.
Sebuah syair mengatakan :
هَبِ
الدُّنْيَا تُسَاقُ اِلَيْكَ عَفْواً
أَلَيْسَ مَصِيْرُ ذَاكَ اِلَى زَوَالِ
وَمَا
دُنْيَاكَ إِلَّا مِثْلُ ظِلٍّ أَظَلَّكَ ثُمَّ آذَنَ بِارْتِحَالِ
Silakan, kau katakan dunia memberimu anugerah.
Tetapi
bukankah pada akhirnya ia akan sirna
Dunia
bagai payung
Ia
menanungimu sesaat saja
Lalu
mengizinkanmu berangkat
Pertanyaan penting kita adalah jalan manakah
yang paling baik untuk kita tempuh menuju Allah?. Para ulama dan para bijakbestari (hukama) mengajarkan kepada kita bahwa sesungguhnya banyak jalan menuju kepada-Nya. Tetapi jalan yang terbaik,
termudah dan tercepat yang dapat mengantarkan kepada tempat persinggahan
terakhir kita, kembali kepada Tuhan, tempat kita berasal, dengan nyaman adalah memberikan pelayanan yang baik dan membagikan kegembiraan kepada manusia serta meniadakan penderitaan mereka. Sufi besar Abu Sa’id Ibn
Abi al-Khair (w. 1049) ketika dia ditanya santrinya “Ma ‘Adad al-Thariq Min al-Khalq Ila
al-Haqq” (berapa banyakkah jalan manusia menuju Tuhan?), dia menjawab:
فَقَالَ
فِى رِوَايَةٍ أَكْثَرُ مِنْ أَلْفِ طَرِيْقٍ. وَقَالَ فِى رِوَايَةٍ أُخْرَى :
الطَّرِيْقُ اِلَى الْحَقِّ بِعَدَدِ ذَرَّاتِ الْمَوْجُودَاتِ. وَلَكِنْ لَيْسَ
هُنَاكَ طَرِيْقٌ أَقْرَبُ وَاَفْضَلُ وَأَسْرَعُ مِنَ اْلعَمَلِ عَلَى رَاحَةِ
شَخْصٍ وَقَدْ سِرْتُ فِى هَذَاالطَّرِيْقِ. وَإِنَّنِى أُوصِى الْجَمِيْعَ بِهِ
”Ada lebih dari seribu jalan, di tempat lain ia mengatakan jalan itu sebanyak
partikel yang ada di alam semesta ini, tetapi jalan yang terpendek, terbaik dan
tercepat menuju Dia adalah memberi
kenyamanan kepada orang lain. Aku menempuh jalan ini dan aku selalu memesankan
ini kepada semua orang”. (Asrar
al-Tauhid fi Maqaamaat Abi Sa’id, h. 327-327).
Jawaban Syeikh
Abu Sa’id ini tampaknya diinspirasi oleh pernyataan Nabi ketika ditanya siapakah
muslim itu?, beliau menjawab : “Al-Muslimu Man Salima al-Muslimun min
Lisanihi wa Yadihi”(Seorang muslim adalah dia yang kehadirannya membuat
orang lain merasa nyaman, tidak terganggu oleh kata-kata yang melukai dan
tindakannya yang menyakitkan).
Pada suatu kesempatan bersama Malaikat Jibril, Nabi mengagumi
suatu tempat yang dilihatnya dan bertanya kepada Jibril :
رَأَيْتُ
قُصُورًا مُشْرِفَةً عَلَى الْجَنَّةِ . فَقُلْتُ لِجِبْرِيل : لِمَن هَذِه ؟
قَالَ : ِللْكَاظِمِيْنَ اْلغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِ
“Wahai Jibril, aku tadi melihat
istana di sorga. Untuk siapakah gerangan tempat itu?”, tanya Nabi. Jibril menjawab : ”Ia disiapkan untuk siapa
saja yang berhasil mengendalikan marah dan yang
suka memaafkan”.
Maka, Sufi besar lain, Imam al-Ghazali kemudian
menulis dalam bukunya “Al-Tibr al-Masbuk fi Nashihah al-Muluk” :
لَا
تَحْتَقِرْ اِنْتِظَارَ اَرْبَابِ الْحَوَائِجِ وَوُقُوفَهُمْ بِبَابِكَ. وَمَتَى
كَانَ لِاَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ اِلَيْكَ حَاجَةٌ فَلَا تَشْتَغِلْ عَنْ قَضَائِهَا
بِنَوَافِلِ اْلعِبَادَاتِ فَإِنَّ قَضَاءَ حَوَائِجِ الْمُسْلِمِينَ اَفْضَلُ مِنْ
نَوَافِلِ اْلعِبَادَاتِ (التبر المسبوك ص
31)
“Tak sepatutnya engkau merendahkan (menghina) orang yang menunggu di depan rumahmu untuk meminta
pertolonganmu. Jika seseorang meminta bantuanmu, tidaklah patut engkau
menyibukkan diri dengan mengerjakan ibadah-ibadah sunnah (tambahan). Memenuhi kebutuhan seseorang yang menderita lebih utama
daripada mengerjakan ibadah sunnah.(Imam al-Ghazali).
Tindakan, sikap dan perbuatan yang baik di atas
betapapun beratnya, sesungguhnya tidaklah akan sia-sia, tidak akan hilang,
melainkan akan berguna bagi dirinya. Para bijakbestari mengingatkan kita :
إن
تعِبْتَ في البِرِّ، فَإِنَّ الْبِرَّ يَبْقَى وَالتَّعَبَ يَزُوْلُ، وَإِنِ
الْتَذَذْتَ بِالآثامِ، فَإنَّ الَّلذَةَ تَزُوْلُ وَالْآثَامُ تَبْقَى
“Jika engkau merasa lelah akibat kerja-kerja baikmu
seharian, maka kebaikan itu akan langgeng dan lelah itu akan hilang. Jika
engkau merasakan kenikmatan dengan kerja-kerja berdosamu, maka kenikmatan itu
akan hilang dan dosa-dosa itu tetap langgeng”.
Allah
berfirman :
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ
(7) وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ} [الزلزلة: 7، 8
“Siapa
saja yang berbuat baik sekecil apapun, ia kelak akan melihatnya, dan siapa yang
berbuat buruk sekecil apapun ia juga kelak akan melihatnya”.
Di
samping bekerja dan berbuat baik dengan
sungguh-sungguh, manusia juga dianjurkan untuk terus berdoa atau meminta kepada Allah. Karena
segala keberhasilan kerja-kerja manusia tergantung kepada izin dan ditentukan oleh keputusan-Nya. Apabila do’a-do’a
kita belum terkabul, maka janganlah putus harapan. Yakinlah bahwa Allah pasti
akan mengabulkannya. Ibnu Athaillah al-Sakandari, seorang bijakbestari besar
mengatakan :
لَا
يَكُنْ تَأَخُّرُ اَمَدِ اْلعَطَآءِ مَعَ اْلِالْحَاحِ فِى الدُّعَآءِ مُوجِبًا
لِيَأْسِكَ. فَهُوَ ضَمِنَ لَكَ اْلاِجَابَةَ فِيْمَا يَخْتَارُهُ لَكَ لَا
فِيْمَا تَخْتَارُ لِنَفْسِكَ. وَفِى اْلوْقْتِ الَّذِى يُرِيْدُ لَا فِى
اْلوَقْتِ الَّذِى تُرِيْد
“Seyogyanya,
tertundanya pemberian sesudah engkau mengulang-ulang permintaan kepada Tuhan,
tidak membuatmu patah hati atau putus asa. Dia menjamin pengabulan permintaanmu
sesuai dengan apa yang Dia pilih bukan yang kamu pilih, dan pada waktu yang Dia
kehendaki, bukan pada saat yang engkau kehendaki”.
Meski
demikian para ulama dan hukama mengatakan bahwa semua ucapan dan perbuatan baik
kita hendaknya sungguh-sungguh keluar dari hati yang bersih dan tulus hanya
karena Allah semata, tidak karena kepentingan-kepentingan yang lain. Hanya
dengan cara itu, Allah akan menerimanya. Al-Qur’an menyatakan :
يَوْمَ
لاَ يَنْفَعُ مَالٌ وَلاَ بَنُوْنٌ إِلاَّ مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ
“di
suatu hari di mana harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang
menghadap Allah dengan hati yang bersih” (Q.S. al-Syu’ara, [26]:88-89).
Ditempat
lain Al-Qur’an bahwa kepulangan kita kepada Allah akan sendiri-sendiri,tanpa
teman maupun kekasih. mengatkan :
وَكُلُّهُمْ آتِيهِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ فَرْدًا
“Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan
sendiri-sendiri”. (Q.S.Maryam,[19]:95).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar