Rabu, 21 Agustus 2013

QULUB AL-AHRARQUBUR AL-ASRAR



Imâm Abû Hâmid al-Ghazâlî (w. 505 H/1111 M) dalam buku Masterpicenya, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, mengutip Imam Alî bin Abî Thâlib, mengatakan:
قُلُوْبُ اْلاَبْرَارِ قُبُورُ الْاَسْرَارِ
“Hati nurani manusia yang baik adalah kuburan rahasi”. (al-Ghazâlî, Ihyâ’, I/57). 
Sufi lain menyebut:
قُلُوبُ اْلاَحْرَارِ قُبُورُ الْاَسْرَارِ
“Hati orang-orang yang tak bergantung pada alam semesta adalah kuburan rahasia.
Makna kalimat di atas pada intinya adalah bahwa pikiran-pikiran para bijak bestari. banyak yang tersimpan atau disembunyikan bagai di dalam kuburan. Mereka mengerti bahwa gagasan dan kata-katanya sering sulit dipahami oleh public umum (awam). Jika mereka menyampaikannya secara terbuka akan menimbulkan problem serius dan membahayakan diri mereka sendiri. Dalam banyak pengalaman ucapan-ucapan, pernyataan-pernyataan dan pandangan-pandangan mereka dalam isu-isu keagamaan atau ketuhanan acap dianggap oleh “awam” atau yang berpikir seperti orang “awam” telah menyimpang, sesat dan menyesatkan. Para bijak bestari itu sering dituduh kafir, murtad, musyrik, zindiq dan stigma-stigma prejudis yang sejenisnya. Pada gilirannya “al-abrar” atau “al-ahrar” tersebut divonis hukum halal darahnya dengan mengatasnamakan agama atau Tuhan. Seringkali pula tuntutan penguhukuman yang hampir selalu dibarengi teriakan-teriakan “Allah Akbar” itu kemudian didukung oleh penguasa dengan alasan menjaga stabilitas atau dengan cara membiarkannya. Sebagian politisi bahkan sebagian tokoh agama, organisasi keagamaan dan partai politik juga mendukung atau paling tidak membiarkan aksi-aksi kekerasan itu terus berlangsung di tengah-tengah masyarakat.
Ucapan-ucapan keagamaan para ‘al-ahrar’ yang dianggap menyesatkan itu dalam sejarahnya pada umumnya berhubungan dengan tema-tema yang mengusung pluralisme agama (al-ta’addudiyyah), kebebasan berpikir (al-hurriyyah), kesatuan wujud (wihdah al-wujûd), kemanunggalan kula-Gusti (Ittihâd) atau atau ‘wihdah al-adyân’ (kesatuan agama-agama).  Sebagian lagi tentang gagasan-gagasan besar yang berkaitan dengan kritik epistemologis dan metodologis. Misalnya gagasan “al-‘Aql Muqaddam ‘ala al-Naql” (Akal mendahului teks agama/Akal menafsirkan teks), “kharq al-Ijma’” (pembatalan consensus) dan sejenisnya.  Bahkan juga dalam hal-hal partikular, seperti waris 1:1 untuk laki-laki dan perempuan dan Nikah beda agama, sekedar memberi contoh. Dalam beberapa waktu belakangan ini, di negeri ini (bahkan di sejumlah Negara),  isu-isu di atas, menimbulkan kontroversi tajam bahkan sampai melahirkan fatwa ‘sesat’, ‘kafir’, murtad, bertentangan dengan agama dan stigma-stigma lain yang membunuh karakter seseorang atau golongan tertentu. Atas dasar fatwa keagamaan tersebut, massa awam terpicu untuk melakukan aksi-aksi kekerasan atas nama keputusan Tuhan/agama.
Kisah Klasik
Peristiwa-peristiswa kekerasan dan tragedi kemanusiaan atas nama agama tersebut sesungguhnya telah berlangsung hampir sepanjang sejarah kaum muslimin di berbagai tempat di dunia. Korban kekerasan tersebut hampir seluruhnya adalah tokoh-tokoh besar, pemikir besar dan kaum sufi terkenal. Imâm Jalâl al-Dîn al-Suyûthî pernah mengatakan:

مَا كَانَ كَبِيْرٌ فِى عَصْرٍ قَطُّ إِلَّا كَانَ لَهُ عَدُوٌّ مِنَ السَّفَلَةِ
tidak seorang besar pun dalam suatu zaman/suatu komunitas, kecuali dia memiliki musuh orang-orang awam.
Sejarah kaum muslimin pernah mencatat nama-nama besar yang menjadi korban kekerasan tersebut baik secara fisik, psikologis, deprivasi maupun alienasi sosial. Abû Yazîd al-Busthâmi, seorang sufi besar, diusir dari negaranya. Ini karena ucapannya: “Subhânî mâ a’zhama Sya’nî” (Maha Suci aku betapa Agungnya aku). Dzûn Nûn al-Mishri, sufi terkemuka, diseret ramai-ramai, dipimpin sejumlah ‘ulama’, dari Mesir ke Baghdad dengan tangan dan kaki yang dirantai. Publik awam ikut serta menuduhnya kafir zindiq. Sahl al-Tusturî, diusir dari negaranya ke Bashrah setelah dituduh kafir.  Ini mungkin gara-gara ucapannya: “al-Taubah Faridhah ‘ala al-‘Abd fi Kulli Nafas”(Taubat adalah wajib bagi setiap hamba Allah pada setiap hembusan nafasnya). Abû Sa’îd al-Kharraz, ulama besar, divonis kafir oleh para ulama lain gara-gara tulisannya yang kontroversial. Abû al-Qâsim al-Junaid al-Baghdâd, sufi agung, berkali-kali dikafirkan karena ucapan-ucapannya yang aneh tentang Ketuhanan. Ia akhirnya mendekam di rumahnya sampai mati. Tokoh besar yang paling populer kisah penderitaannya adalah Abû Manshûr Husein al-Hallaj. Ia dituduh kafir dan menyesatkan gara-gara ucapan-ucapannya, antara lain: “Ana al-Haq”(Akulah Kebenaran)  atau ucapannya yang lain: “Laisa fî al-Wujûd illa Allah” (tidak ada sesuatupun dalam wujud ini kecuali Tuhan), atau “Ma fi al-Jubbah Illa Allah” (Yang ada di Jubbahku hanya Allah)  dan lain-lain. Ia dikenal sebagai pencetus paham ‘ittihâd’ (manunggaling kawula lan Gusti). Ia akhirnya divonis mati di tiang gantungan. Nasib yang sama juga dialami sufi besar lain : ‘Ain al-Qudhah al-Hamdani. Muhyiddîn Ibnû ‘Arabî, seorang sufi dengan predikat populer ‘al-Syaikh al-Akbar’ (guru besar). Ia terkenal dengan pandangannya tentang ‘wihdah al-adyân’ (kesatuan agama-agama) sebagaimana ungkapan dalam bukunya yang terkenal Tarjuman al-Asywaq atau bukunya yang lain. Ia juga dikenal sebagai pendiri paham ‘wihdah al-wujûd’. Ia dituduh kafir, sinkritis, dan lain-lain. Nama-nama tokoh besar lain yang mengalami nasib serupa; dikafirkan, adalah al-Syibli, Syeikh Abû al-Hasan al-Syadzili, ‘Izz al-Dîn bin ‘Abd al-Salam, Taj al-Dîn al-Subkî, Ibnu Rusyd  dan lain-lain. (Baca: Zaki Mubarak, Al-Tasawwuf al-Islâmi fî al-Adab wa al-Akhlâq, hlm. 141-143).
Kisah Kontemporer
Pada era kontemporer, kekerasan yang dilakukan massa awam dengan tuduhan menentang atau merusak kesucian agama juga dialami oleh para pemikir muslim progresif, antara lain Ustaz Mahmûd Muhammad Tâha dari Sudan. Ia harus mengakhiri hidupnya di tiang gantungan dengan vonis pengadilan, gara-gara pikiran-pikiran pembaharuannya yang dianggap menghancurkan syari’ah. Ia menulis buku yang sangat kontroversial: Al-Risâlah al-Tsâniyah (Missi Kedua). Lalu Profesor Nasr Hâmid Abû Zaid dari Mesir. Ia divonis murtad dan diceraikan dari isterinya dengan keputusan pengadilan karena usahanya merekonstruksi metodologi keilmuan Islam konservatif dan kritiknya yang sangat tajam terhadap Imam al-Syâfi’î. Buku-bukunya yang kontroversial antara lain: Al-Imâm al-Syâfi’î wa Ta’sîs al-Ideologia al-Wasathiyah dan Mafhûm al-Nash. Di Indonesia, ada sejumlah nama yang dicaci-maki, dituduh sesat atau murtad dan dihalalkan darahnya. Tokoh paling popular adalah Gus Dur (Allah Yaghfir wa Yarham) dan Ulil Absar Abdallah. Kita bisa membaca nama-nama mereka, misalnya dalam buku “50 Tokoh Islam Liberal”, kumpulan Budi Handrianto, atau buku “Membuka Kedok Tokoh-Tokoh Liberal dalam Tubuh NU”. 
Saran
Sejumlah ulama antara lain Imam Al-Ghazâlî akhirnya memberi saran bijak kepada kita dengan mengutip ucapan Nabi Muhammad saw:
نَحْنُ مَعَاشِرَ اْلأَنْبِيَاءِ أُمِرْنَا أَنْ نُنَزِّلَ النَّاسَ منَازِلَهُمْ، وَنُكَلِّمَهُمْ عَلَى قَدْرِ عُقُولِهِمْ
 “Kami, para Nabi, diperintahkan untuk mendudukkan orang pada tempatnya, kami bicara dengan mereka menurut kemampuan akal pikiran mereka”.
Nabi juga mengatakan:
مَا أَحَدٌ يُحَدِّثُ قَومًا بِحَدِيثٍ لاَ تَبْلُغُهُ عُقُولهُم إِلَّا كان فتنةً عَلى بَعْضِهِمْ
“tidak seorangpun bicara kepada massa dengan ucapan-ucapan yang tidak sampai pada akal pikiran mereka, kecuali akan menimbulkan ‘fitnah’, kesalahpahaman pada sebagian mereka”.
Ini tentu tidak  berarti bahwa kebenaran dan kebaikan harus disembunyikan atau tidak boleh disampaikan kepada masyarakat sebagaimana hadits Nabi yang melarang siapapun menyembunyikan ilmu pengetahuan (Kitman al-Ilm). Seorang ulama menjawab dengan mengutip ayat al-Qur’an: “Wa La Tu’tuu al-Sufaha Amwalahum” (jangan berikan harta itu kepada orang-orang bodoh). Artinya jangan berikan harta milik mereka manakala mereka masih bodoh.
فَحِفْظُ الْعِلْمِ مِّمنْ يُفْسِدُهُ وَيَضُرُّهُ أَوْلَى
Menjaga ilmu dari orang-orang yang akan merusak dan membahayakannya adalah lebih baik.
Dalam syair yang dikutipnya dari Imâm al-Syâfi’î, Abu Hamid al-Ghazâlî menyampaikan:
فَمَنْ مَنَحَ الْجُهَّالَ عِلْماً اَضَا عَهُ     وَمَنْ مَنَعَ الْمُسْتَوْجِبِيْنَ فَقَدْ ظَلَمْ
Memberi mereka yang tak paham,
Pengetahuan (ini) adalah sia-sia
Tetapi menolak memberikannya
kepada yang paham adalah kezaliman.
(Ihyâ’, I/57).

Dan al-Ghazâlî juga mengatakan:
لَيْسَ كُلُّ سِرٍّ يُكْشَفُ وَيُفْشَى
Tidak setiap rahasia disingkap dan disebarkan

Seorang sufi besar dari Mesir dalam puisinya menyatakan:
وَمُسْتَخْبِرٍ عَنْ سِرِّ لَيْلَى تَرَكْتُهَ    بِعَمْيَاءَ مِنْ لَيْلَى بِغَيْرِ يَقِيْنٍ
يَقُوْلُونَ خَبِّرْنَا فَأَنْتَ أَمِيْنُهَا      وَمَا أَنَا إِنْ أَخْبَرْتُهُمْ بِأَمِيْنٍ

Mereka memintaku bercerita
tentang rahasia Laila,
aku membuta dan tak bicara pasti
Membiarkan Laila dalam keremangan
Mereka mendesak:
Ceritakan dia kepada kami,
anda orang terpercaya”
Dan aku, O, jika aku ceritakan
Mereka tak lagi percaya.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar