Imâm
Abû Hâmid al-Ghazâlî (w. 505 H/1111 M) dalam buku Masterpicenya, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn,
mengutip Imam Alî bin Abî Thâlib, mengatakan:
قُلُوْبُ اْلاَبْرَارِ قُبُورُ الْاَسْرَارِ
“Hati nurani
manusia yang baik adalah kuburan rahasi”. (al-Ghazâlî, Ihyâ’, I/57).
Sufi
lain
menyebut:
قُلُوبُ اْلاَحْرَارِ قُبُورُ الْاَسْرَارِ
“Hati orang-orang yang tak
bergantung pada alam semesta adalah kuburan rahasia.
Makna kalimat di atas pada intinya adalah bahwa pikiran-pikiran
para bijak bestari. banyak yang tersimpan atau disembunyikan bagai di dalam
kuburan. Mereka mengerti bahwa gagasan dan kata-katanya sering sulit dipahami
oleh public umum (awam). Jika mereka menyampaikannya secara terbuka akan
menimbulkan problem serius dan membahayakan diri mereka sendiri. Dalam banyak
pengalaman ucapan-ucapan, pernyataan-pernyataan dan pandangan-pandangan mereka
dalam isu-isu keagamaan atau ketuhanan acap dianggap oleh “awam” atau yang
berpikir seperti orang “awam” telah menyimpang, sesat dan menyesatkan. Para
bijak bestari itu sering dituduh kafir, murtad, musyrik, zindiq dan
stigma-stigma prejudis yang sejenisnya. Pada gilirannya “al-abrar” atau “al-ahrar”
tersebut divonis hukum halal darahnya dengan mengatasnamakan agama atau Tuhan.
Seringkali pula tuntutan penguhukuman yang hampir selalu dibarengi teriakan-teriakan
“Allah Akbar” itu kemudian didukung oleh penguasa dengan alasan menjaga
stabilitas atau dengan cara membiarkannya. Sebagian politisi bahkan sebagian
tokoh agama, organisasi keagamaan dan partai politik juga mendukung atau paling
tidak membiarkan aksi-aksi kekerasan itu terus berlangsung di tengah-tengah
masyarakat.
Ucapan-ucapan keagamaan para ‘al-ahrar’ yang
dianggap menyesatkan itu dalam sejarahnya pada umumnya berhubungan dengan
tema-tema yang mengusung pluralisme agama (al-ta’addudiyyah), kebebasan
berpikir (al-hurriyyah), kesatuan wujud (wihdah al-wujûd),
kemanunggalan kula-Gusti (Ittihâd) atau atau ‘wihdah al-adyân’
(kesatuan agama-agama). Sebagian lagi
tentang gagasan-gagasan besar yang berkaitan dengan kritik epistemologis dan
metodologis. Misalnya gagasan “al-‘Aql Muqaddam ‘ala al-Naql” (Akal
mendahului teks agama/Akal menafsirkan teks), “kharq al-Ijma’”
(pembatalan consensus) dan sejenisnya. Bahkan
juga dalam hal-hal partikular, seperti waris 1:1 untuk laki-laki dan perempuan
dan Nikah beda agama, sekedar memberi contoh. Dalam beberapa waktu belakangan
ini, di negeri ini (bahkan di sejumlah Negara), isu-isu di atas, menimbulkan kontroversi tajam
bahkan sampai melahirkan fatwa ‘sesat’, ‘kafir’, murtad, bertentangan dengan
agama dan stigma-stigma lain yang membunuh karakter seseorang atau golongan
tertentu. Atas dasar fatwa keagamaan tersebut, massa awam terpicu untuk
melakukan aksi-aksi kekerasan atas nama keputusan Tuhan/agama.
Kisah Klasik
Peristiwa-peristiswa kekerasan dan tragedi kemanusiaan
atas nama agama tersebut sesungguhnya telah berlangsung hampir sepanjang
sejarah kaum muslimin di berbagai tempat di dunia. Korban kekerasan tersebut hampir
seluruhnya adalah tokoh-tokoh besar, pemikir besar dan kaum sufi terkenal. Imâm
Jalâl al-Dîn al-Suyûthî pernah mengatakan:
مَا كَانَ كَبِيْرٌ فِى
عَصْرٍ قَطُّ إِلَّا كَانَ لَهُ عَدُوٌّ مِنَ السَّفَلَةِ
“tidak seorang besar pun
dalam suatu zaman/suatu komunitas, kecuali dia memiliki musuh orang-orang awam”.
Sejarah kaum muslimin pernah mencatat nama-nama besar
yang menjadi korban kekerasan tersebut baik secara fisik, psikologis, deprivasi
maupun
alienasi sosial. Abû Yazîd
al-Busthâmi, seorang sufi besar, diusir dari negaranya. Ini karena ucapannya: “Subhânî
mâ a’zhama Sya’nî” (Maha Suci aku betapa Agungnya aku). Dzûn Nûn al-Mishri,
sufi terkemuka, diseret ramai-ramai, dipimpin sejumlah ‘ulama’, dari Mesir ke Baghdad dengan
tangan dan kaki yang dirantai. Publik awam ikut serta menuduhnya kafir zindiq. Sahl
al-Tusturî, diusir dari negaranya ke Bashrah setelah dituduh kafir. Ini mungkin gara-gara ucapannya: “al-Taubah
Faridhah ‘ala al-‘Abd fi Kulli Nafas”(Taubat adalah wajib bagi setiap hamba
Allah pada setiap hembusan nafasnya). Abû Sa’îd al-Kharraz, ulama besar, divonis kafir oleh para ulama lain gara-gara tulisannya
yang kontroversial. Abû al-Qâsim al-Junaid al-Baghdâd, sufi agung, berkali-kali
dikafirkan karena ucapan-ucapannya yang aneh tentang Ketuhanan. Ia akhirnya
mendekam di rumahnya sampai mati. Tokoh besar yang paling populer kisah
penderitaannya adalah Abû Manshûr Husein al-Hallaj. Ia dituduh kafir dan
menyesatkan gara-gara ucapan-ucapannya, antara lain: “Ana al-Haq”(Akulah
Kebenaran) atau ucapannya yang lain: “Laisa
fî al-Wujûd illa Allah” (tidak ada sesuatupun dalam wujud ini kecuali
Tuhan), atau “Ma fi al-Jubbah Illa Allah” (Yang ada di Jubbahku hanya
Allah) dan lain-lain. Ia dikenal sebagai
pencetus paham ‘ittihâd’ (manunggaling kawula lan Gusti). Ia akhirnya
divonis mati di tiang gantungan. Nasib yang sama juga dialami
sufi besar lain : ‘Ain al-Qudhah al-Hamdani. Muhyiddîn Ibnû ‘Arabî, seorang sufi dengan predikat populer ‘al-Syaikh al-Akbar’ (guru
besar). Ia terkenal dengan pandangannya tentang ‘wihdah al-adyân’
(kesatuan agama-agama) sebagaimana ungkapan dalam bukunya yang terkenal Tarjuman
al-Asywaq atau bukunya yang lain. Ia juga dikenal sebagai pendiri paham ‘wihdah
al-wujûd’. Ia dituduh kafir, sinkritis, dan lain-lain. Nama-nama tokoh
besar lain yang mengalami nasib serupa; dikafirkan, adalah al-Syibli, Syeikh
Abû al-Hasan al-Syadzili, ‘Izz al-Dîn bin ‘Abd al-Salam, Taj al-Dîn al-Subkî,
Ibnu Rusyd dan lain-lain. (Baca: Zaki
Mubarak, Al-Tasawwuf al-Islâmi fî al-Adab wa al-Akhlâq, hlm. 141-143).
Kisah Kontemporer
Pada
era kontemporer, kekerasan yang dilakukan massa awam dengan tuduhan menentang atau
merusak kesucian agama
juga dialami oleh para pemikir muslim progresif, antara lain Ustaz Mahmûd
Muhammad Tâha dari Sudan. Ia harus mengakhiri hidupnya di tiang gantungan
dengan vonis pengadilan, gara-gara pikiran-pikiran pembaharuannya yang dianggap
menghancurkan syari’ah. Ia menulis buku yang sangat kontroversial: Al-Risâlah
al-Tsâniyah (Missi Kedua). Lalu Profesor Nasr Hâmid Abû Zaid dari Mesir. Ia
divonis murtad dan diceraikan dari isterinya dengan keputusan pengadilan karena
usahanya merekonstruksi metodologi keilmuan Islam konservatif dan kritiknya
yang sangat tajam terhadap Imam al-Syâfi’î. Buku-bukunya yang kontroversial
antara lain: Al-Imâm al-Syâfi’î wa Ta’sîs al-Ideologia al-Wasathiyah dan
Mafhûm al-Nash. Di Indonesia, ada sejumlah nama yang dicaci-maki,
dituduh sesat atau murtad dan dihalalkan darahnya. Tokoh paling popular adalah Gus
Dur (Allah Yaghfir wa Yarham) dan Ulil
Absar Abdallah. Kita bisa membaca nama-nama mereka, misalnya dalam buku “50
Tokoh Islam Liberal”, kumpulan Budi Handrianto, atau buku “Membuka Kedok Tokoh-Tokoh
Liberal
dalam Tubuh NU”.
Saran
Sejumlah
ulama antara lain Imam Al-Ghazâlî akhirnya memberi saran bijak kepada kita
dengan mengutip ucapan Nabi Muhammad saw:
نَحْنُ مَعَاشِرَ اْلأَنْبِيَاءِ أُمِرْنَا
أَنْ نُنَزِّلَ النَّاسَ منَازِلَهُمْ، وَنُكَلِّمَهُمْ عَلَى قَدْرِ عُقُولِهِمْ
“Kami, para Nabi, diperintahkan untuk
mendudukkan orang pada tempatnya, kami bicara dengan mereka menurut kemampuan
akal pikiran mereka”.
Nabi
juga mengatakan:
مَا أَحَدٌ يُحَدِّثُ قَومًا بِحَدِيثٍ
لاَ تَبْلُغُهُ عُقُولهُم إِلَّا كان فتنةً عَلى بَعْضِهِمْ
“tidak seorangpun bicara kepada massa dengan
ucapan-ucapan yang tidak sampai pada akal pikiran mereka, kecuali akan
menimbulkan ‘fitnah’, kesalahpahaman pada sebagian mereka”.
Ini tentu tidak berarti
bahwa kebenaran dan kebaikan harus disembunyikan atau tidak boleh disampaikan
kepada masyarakat sebagaimana hadits Nabi yang melarang siapapun menyembunyikan
ilmu pengetahuan (Kitman al-Ilm). Seorang ulama menjawab dengan mengutip
ayat al-Qur’an: “Wa La Tu’tuu al-Sufaha Amwalahum” (jangan berikan harta
itu kepada orang-orang bodoh). Artinya jangan berikan harta milik mereka
manakala mereka masih bodoh.
فَحِفْظُ الْعِلْمِ مِّمنْ
يُفْسِدُهُ وَيَضُرُّهُ أَوْلَى
“Menjaga ilmu dari
orang-orang yang akan merusak dan membahayakannya adalah lebih baik”.
Dalam
syair yang dikutipnya dari Imâm al-Syâfi’î, Abu Hamid al-Ghazâlî menyampaikan:
فَمَنْ مَنَحَ الْجُهَّالَ عِلْماً
اَضَا عَهُ وَمَنْ مَنَعَ الْمُسْتَوْجِبِيْنَ
فَقَدْ ظَلَمْ
Memberi mereka
yang tak paham,
Pengetahuan (ini)
adalah sia-sia
Tetapi menolak
memberikannya
kepada yang paham adalah kezaliman.
(Ihyâ’, I/57).
Dan
al-Ghazâlî juga mengatakan:
لَيْسَ كُلُّ سِرٍّ يُكْشَفُ
وَيُفْشَى
Tidak setiap rahasia disingkap dan disebarkan
Seorang
sufi besar dari Mesir dalam puisinya menyatakan:
وَمُسْتَخْبِرٍ عَنْ سِرِّ لَيْلَى تَرَكْتُهَ بِعَمْيَاءَ مِنْ لَيْلَى بِغَيْرِ يَقِيْنٍ
يَقُوْلُونَ خَبِّرْنَا فَأَنْتَ أَمِيْنُهَا وَمَا أَنَا إِنْ أَخْبَرْتُهُمْ بِأَمِيْنٍ
Mereka
memintaku bercerita
tentang rahasia Laila,
aku membuta dan tak bicara pasti
Membiarkan Laila
dalam keremangan
Mereka mendesak:
“Ceritakan dia kepada kami,
anda orang terpercaya”
Dan aku, O, jika aku
ceritakan
Mereka tak
lagi percaya.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar