MENGIKUTI ADALAH MEMAHAMI MAKSUDNYA
Seluruh kaum
muslimin di manapun dan kapanpun meyakini dengan sesungguh hati bahwa Sunah
Nabi Muhammad adalah sumber utama kedua,
sesudah al-Qur’an, bagi segala pikiran dan tindakan dalam kehidupan mereka.
Terdapat sejumlah ayat al-Qur’an yang memerintahkan kaum beriman untuk mentaati
Rasul-Nya. Dalam salah satu ayat al-Qur’an dinyatakan bahwa mentaati Rasul
Allah adalah sama dengan mentaati Allah. :
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا
أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
“Barangsiapa
mentaati Rasul, maka dia, sungguh, juga, mentaati Allah Dan barangsiapa yang berpaling (dari
ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi penjaga mereka.(Q.S. al-Nisa,[4]:80)
Nabi juga menyatakan :
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَنْ أَحَبَّنِي
فَقَدْ أَحَبَّ اللهَ
“Barangsiapa
mentaatiku, maka dia sungguh telah mentaati Allah. Siapa yang mencintaiku, maka
Allah mencintainya”.
Hal ini karena
Nabi Muhammad adalah utusan-Nya yang ditugaskan untuk menjelaskan apa yang
diwahyukan Allah. Al-Qur’an menyatakan :
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ
الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran,
agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka, dan supaya mereka memikirkan”. (Q.S. al-Nahl, [16]:44).
Akan
tetapi bagaimanakah cara kita mengikuti Nabi ?. Imam al-Ghazali, menjelaskan
dengan indah persoalan ini, sesuai dengan petunjuk ayat di atas.
إِذَا قَلَّدَ صَاحِبَ الشَّرْعِ
فِى تَلَقِّى أَقْوَالِهِ وَأَفْعَالِهِ بِالْقَبُولِ فَيَنْبَغِى أَنْ يَكُوْنَ حَرِيْصاً
عَلَى فَهْمِ أَسْرَارِهِ . فَإِنَّ الْمُقَلِّدَ اِنَّمَا يَفْعَلُ الْفِعْلَ لِاَنَّ
صَاحِبَ الشَّرعِ فَعَلَهُ وَفِعْلُهُ لَا بُدَّ وَاَنْ يَكُونَ لِسِرٍّ فِيْهِ فَيَنْبَغِى
أَنْ يَكُوْنَ شَدِيْدَ الْبَحْثِ عَنْ أَسْرَارِ الْاَعْمَالِ وَالْاَقْوَالِ . فَإِنَّهُ
إِنِ اكْتَفَى بِحِفْظِ مَا يُقَالُ كَانَ وِعَاءً لِلْعِلْمِ وَلَا يَكُونُ عَالِماً.
وَلِذَلِكَ يُقَالُ : فُلَانٌ مِنْ أَوْعِيَةِ الْعِلْمِ. فلَا يُسَمَّى عَالِمًا مَنْ كَانَ
شَأْنُهُ الْحِفْظ مِنْ غَيْرِ اِطِّلَاعٍ عَلَى الْحِكَمِ وَاْلأَسْرَارِ
(إحياء علوم الدين 1 ص 78.)
“Jika seseorang
menyatakan diri mengikuti Nabi, baik dalam ucapan maupun tindakannya, maka
seyogyanya dia mempunyai keinginan kuat untuk memahami rahasia (maksud yang
terkandung) di dalamnya. Dia tentu
melakukan hal itu
karena Nabi melakukannya. Dan beliau melakukan tindakan itu tentu karena ada
maksudnya. Maka seyogyanya dia (pengikut) berusaha dengan sungguh-sungguh mengkaji
kandungan-kandungan (maksud-maksud) dari apa yang diucapkan dan dikerjakan
beliau. Bila dia hanya menghafalnya, maka dia hanyalah wadah dari pengetahuan
dan bukan seorang yang mengerti (alim/ulama). Orang Arab mengatakan : “Fulan
min Au’iyah al-Ilm” (Si Fulan adalah wadah ilmu). Maka seseorang tidak disebut Alim, jika
pekerjaannya hanya menghafal, tanpa memahmi makna-makna terdalam dan rahasia-rahasianya.
(Imam al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, I/78).ji
Tidak ada komentar:
Posting Komentar